Oleh : Atep Afia Hidayat - Seorang menteri kabinet
berkata : “Bila saya ke luar negeri, saya merasa malu karena setiap orang tahu
tentang korupsi di negeri ini”. Karenanya ia berjanji akan melakukan segala
sesutau sesuai dengan wewenangnya untuk menumpas korupsi, atau mengundurkan
diri jika ia gagal. - Tak usah kaget ini di Thailand. (Dikutip dari Suara Pembaharuan, 30 Mei 1990)
Kata
korupsi berasal dari corrupt, yang
artinya korup, jahat, buruk dan rusak. Korupsi dilakukan manusia entah mulai
kapan, mungkin sejak manusia membentuk organisasi, yakni ketika hubungan antar
manusia (human interaction) berjalan
dengan intensif.
Korupsi
terjadi di mana-mana, baik di negara yang menggunakan faham
liberalism-kapitalisme, marxisme, tak ketinggalan di negara kita. Kasus-kasus
korupsi lebih menonjol terjadi di negara sedang berkembang, sebab sistem
pengawasan relatif masih rapuh, dengan kontrol publik yang lemah.
Di
negara sedang berkembang, nilai-nilai budaya terlampau berorientasi vertikal
kearah atasan. Di mana menurut Koentjaraningrat (1983), pada kondisi masyarakat
yang demikian tumbuhnya disiplin pribadi akan terhambat, karena hanya akan taat
kalau ada pengawasan dari atas, di samping itu dapat mematikan rasa tanggung
jawab.
Inhibitor Pembangunan
Hakikat
dari pembangunan yaitu untuk merubah keadaan, dari yang kurang menjadi yang
lebih, dari yang tidak ada mejadi ada, dan dari yang kecil menjadi besar.
Sebenarnya menjelang usia kemerdekaan 66 tahun, semestinya pembangunan di
negara kita sudah memasuki fase tinggal landas. Idealnya era masyarakat adil
makmur akan tercapai.
Pembangunan
membutuhkan modal atau invetasi, juga input-input lainnya seperti teknologi dan
sumberdaya manusia serta lingkungan. Teknologi berperan dalam peningkatan
intensifikasi pembangunan, atau meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
Namun
manusialah yang memegang peranan utama, baik menyangkut sumberdaya fisik maupun
non fisik, sebagaimana ungkapan the man
behind the gun, maka manusialah sebagai penentu. Modal, teknologi dan
berbagai bentuk sumberdaya tergantung pada pengelolaannya. Jika didayagunakan
secara sungguh-sungguh maka akan menghasilkan benefit yang maksimum.
Pembangunan
adalah untuk manusia, sedangkan sebagai pelaksana dari pembangunan itu sendiri
adalah manusia juga. Dalam pengelolaan modal, teknologi dan sumberdaya lainnya
mental manusia turut teruji.
Terutama bagi kelompok pengambil keputusan yang
memiliki wewenang agak luas, yakni mereka yang diberi mandat untuk memanajemeni
pembangunan. Seringkali terjadi penyalahgunaan wewenang dari aparat tersebut,
investasi untuk pembangunan dialihkan menjadi investasi untuk pribadi. Itulah
korupsi, yang merupakan inhibitor dalam akselerasi pembangunan.
Catatan
perkorupsian di Negara kita sudah begitu panjang. Untuk itu perlu dibuka
data-data komparasi yang menggambarkan begitu besarnya nilai korupsi di
Indonesia, dan begitu banyaknya pihak yang terlibat.
Sebagai
contoh, berikut catatan tahun 1990. Menurut Jaksa Agung (saat itu) Sukarton
Marmosudjono (Dalam Kompas, 17 April 1990), lebih dari 95 persen dari Rp. 54,70
milyar kerugian Negara yang dikorupsi tidak bisa diselematkan. Ironisnya,
menurut hasil temuan itu bahwa 218 dari 264 pelaku merupakan pegawai negeri !
Dengan perincian pegawai eselon II sebanyak 7 orang, eselon III 39 orang,
eselon IV 14 orang, dan eselon V 154 orang. Data-data di atas merupakan perkara
yang telah diselesaikan sampai 31 Maret 1990, crash program pemberantasannya
sendiri dimulai sejak Oktober 1990.
Berikutnya
catatan tahun 2010. Potensi korupsi dalam proyek pengadaan barang dan jasa
pemerintah pada tahun 2010 diperkirakan sebesar Rp 114,45 triliun. Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi Tumpak Hatorangan Panggabean mengungkapkan, dari
pemeriksaan yang ditangani KPK selama ini uang negara yang "digarong"
koruptor sebesar 35 persen dari total nilai proyek. Pada APBN 2010 proyeksi
belanja negara mencapai total Rp 327 triliun. (Kompas.com, 2 Desember 2009).
Catatan
tahujn 2011. Ketua KPK Busyro Muqodas menyatakan bahwa Indonesia masih
menduduki peringkat ke empat negara terkorup di kawasan Asia. pelaku korupsi
yang telah ditangani KPK tercatat sebanyak 245 orang. Mereka antara lain
terdiri atas hakim (1), duta besar (4), kepala lembaga dan kementerian (6),
komisioner (7), gubernur (8), wali kota dan bupati (22), lain-lain (26),
anggota DPR dan DPRD (43), swasta (44), pejabat eselon I, II, serta III (84).
Dana yang dikorupsi, katanya, bukan hanya APBN tetapi juga APBD. Jumlah
sementara uang negara yang diselamatkan oleh KPK sebesar Rp7,9 triliun,
sedangkan saat ini sekitar Rp50 triliun potensi kerugian negara dari kasus
korupsi pembayaran pajak.
Potensi
kerugian negara atas kasus lainnya yaitu pendidikan lebih dari Rp2 04,2 miliar,
kesehatan lebih dari Rp113,4 miliar, dan infrastruktur lebih dari Rp 597,5 miliar.
Selain itu, kehutanan lebih dari Rp 2,3 triliun, minyak dan gas lebih dari Rp
40,1 triliun, keuangan daerah lebih dari Rp 1,3 triliun, dan perbankan lebih Rp
1,8 triliun. (Republika, 6 Mei 2011).
Di
samping kasus-kasus yang ditemukan seperti pada data-data di atas, tentu saja
masih banyak kasus lainnya yang masih tersembunyi, mengingat perkara korupsi
sulit membuktikannya, dan sulit mencari orang yang mau menjadi saksi.
Korupsi
menyebabkan terjadinya reduksi dana pembangunan, hal itu jelas akan menghambat
laju pembangunan itu sendiri. Korupsi terjadi akibat adanya peluang, yang tak
lain merupakan penyelewengan wewenang.
Seba-sebab Korupsi
Dari
hasil temuan Kejaksaan Agung pada masa Orde Baru, ternyata dari 218 perkara
korupsi oleh pegawai negeri, 154 perkara di antaranya dilakukan oleh pegawai
eselon V. apakah hal itu cukup menunjukkan bahwa penyebab korupsi karena gaji
yang kecil ? Bisa saja demikian, tetapi masih banyak latar belakang lainnya
yang menyebabkan perkara korupsi.
Penyebab
korupsi lainnya, menurut Soegih Arto dalam bukunya Sanul Daca (Saya nulis, Anda
baca), bisa saja korupsi terjadi kerena terlalu banyaknya peraturan, sehingga
memberi peluang untuk korupsi melalui administrasi. Birokrasi yang
berbelit-belit terutama menyangkut public
service, seringkali dimanfaatkan oleh aparat yang kurang memiliki mental achievement orientation. Aparat yang
demikian baisanya memiliki ethos kerja yang rendah, mereka “bekerja bukan untuk
bekerja”, tetapi “bekerja sekedar mencari upah”.
Kalaupun
ada kebijaksanaan untuk melipatgandakan upah, korupsi masih saja terjadi.
Begitu pula dengan adanya deregulasi dan debirokratiasi, perkara korupsi belum
juga hilang. Hal ini menunjukkan bahwa penyebab utama korupsi ialah faktor
mental. Korupsi merupakan perkara yang jahat, buruk dan rusak, mental pelakunya
sudah mengalami dehumanisasi, yakni arti kemanusiaannya berkurang sedemikian
rupa.
Dengan
demikian, crash program perkara korupsi harus diarahkan pada pembinaan dan
pengembangan mental aparat. Pemahaman terhadap etos kerja dan profesionalisme
harus diintensifkan. Pemberantasan korupsi juga seyogyanya selalu berdasarkan rule of law, hal ini dengan maksud untuk
memelihara citra negara kita sebagai negara hukum. Penanganan yang semena-mena
akan menimbulkan dampak negatif, antara lain terjadinya keresahan sosial. (Atep
Afia)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.