Oleh : Atep Afia Hidayat -Dalam pergaulan sehari-hari mis-comunication dan mis-feeling sering terjadi. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Dampak yang ditimbulkannya beragam, mulai dari sebatas tersinggung, hingga mengakibatkan perang antar negara, yakni tatkala dua orang kepala negara berbeda pendapat atau berselisih paham.
Dalam pergaulan antar manusia, seringkali terjadi perbedaan persepsi yang disebabkan oleh bermacam-macam faktor, antara lain perbedaan bahasa, pemahaman, penalaran, dan perasaan. Umpamanya, si A dan si B terlibat dalam suatu dialog, mereka baru petama kali bersua. Maka peluang terjadinya mis-comunication dan mis-feeling cukup besar, mengingat di antara keduanya masih belum terdapat kesamaan persepsi, atau satu dengan yang lainnya belum saling mendalami pribadinya masing-masing. Demikian pula, di antara dua orang yang berasal dari suku yang berbeda sering terjadi perbedaan persepsi, umpamanya karena penggunaan kata-kata tertentu yang memiliki arti berlainan, sedangkan penulisan dan pembacaannya sama (homograf). Misalnya arti kata atos dan “cokot” dalam bahasa Sunda dengan bahasa Jawa amat berlainan.
Seorang turis asal Italia datang ke Kota Majalaya (Jawa Barat). Di kota tersebut tidak ada yang mampu berbahasa italia, kecuali hanya satu kalimat yang sempat populer tatkala kejuaraan “Piala Dunia Sepak Bola 1990” berlangsung, yakni forza Italia (hidup Italia). Demikian pula sang turis tidak memahami bahasa Majalaya, kecuali mungkin hanya satu kalimat, punten akang. Maka peluang untuk terjadinya mis-communication sangat besar, kecuali jika di antara mereka mampu menggunakan bahasa isyarat.
Lantas, pernahkah terbayang dalam benak kita, kira-kira bahasa apa yang dipergunakan orang-orang Belanda, Inggris, Portugal atau Jepang, tatkala untuk pertama kali mereka tiba di Nusantara beberapa abad yang lampau. Di antara para pendatang dan pribumi muncul proses saling pengertian, antara lain dalam bentuk kerjasama, perdagangan hingga perbudakan. Bahkan semenjak berabad-abad yang lampau, diantara suku-suku di Indonesia sudah terjalin komunikasi. Lantas, apakah pada saat itu sudah ada semacam penterjemah ?
Ada orang-orang tertentu yang dikenal sebagai “komunikator”. Lantas, apakah orang-orang tersebut menguasai banyak bahasa? Belum tentu, karena komunikasi bukan hanya tergantung pada kesamaan bahasa. Kesamaan lainnya juga amat menentukan, apakah dalam sebuah bis kota atau antar kota selalu terjadi komunikasi di antara penumpang, paling tidak yang duduk atau berdirinya berdekatan?
Padahal, hampir 100 persen penumpang menguasai alat komunikasi yang sama. Umpamanya dalam bis antar kota jurusan Bandung-Jakarta, dengan lama perjalanan sekitar 3 jam. Dalam bis tersebut terdapat deretan kursi ganda. Dari sekitar puluh kursi tersebut, penumpang yang berkomunikasi satu sama lainnya, tak lebih dari 20 persen. Kenapa sebagian besar penumpang justru tidak berkomunikasi? Inilah salah satu bukti yang menunjukkan, bahwa bahasa yang dikuasi tidak menjamin kelancaran dalam berkomunikasi. Dalam berbagai kasus keretakan hubungan sosial, faktor mis-feeling justru menjadi penyebab utama.
Dalam bis kota atau antar kota tersebut ada beberapa orang yang berkomunikasi yang sebagian besar merupakan komunikasi lanjutan, dan hanya sedikit yang melakukan komunikasi pemula, artinya diantara para penumpang baru saling mengenal. Bagian terbesar dari pelaku komunikasi pemula tersebut, meliputi ibu-ibu dengan ibu-ibu, lantas menyusul perjaka dengan gadis, kemudian bapak-bapak dengan sesamanya.
Contoh kasus mis-feeling, umpamanya terjadi di antara seorang perjaka dengan gadis. Dalam sebuah bis kota, pada deretan jok ganda, duduklah seorang gadis, sepertinya dia itu seorang mahasiswa. Dari sebuah shelter, naiklah seorang perjaka dan duduk di kursi kosong sebelah si mahasiswi. Nah, si perjaka yang juga seorang mahasiswa sepertinya hendak memulai komunikasi dengan si mahasiswi. Tampaknya ia tertarik untuk berbicara dan mengenal gadis disampingnya, siapa tahu…?
“Kuliah yach….?”
“Iyach……”, lantas diam.
“Dimana Kuliahnya….?”
Lantas, si mahasiswi hanya melirik dengan raut muka yang kurang sedap dipandang. Padahal, ia cukup cantik. Nah, mis-communication ini terjadi karena adanya mis-feeling diantara keduanya. Mungkin saja si mahasiswa sedang kurang mood, atau bisa saja performance si mahasiswa yang sama sekali kurang berkenan dihati sang mahasiswi.
Mis-feeling inilah sebenarnya yang menjadi penyebab utama terjadinya mis-communication. Bahkan, mis-feeling sering juga terjadi dalam komunikasi lanjutan, umpamanya di antara orang-orang yang jarak psikologisnya dekat sekali, seperti antara suami-istri, orang tua-anak, atau antara saudara.
Untuk menghidnari terjadinya keretakan hubungan sosial yang bisa saja disebabkan oleh adanya kesenjangan sosial atau gejolak sosial, maka berbagai kasus mis-communication dan mis-feeling perlu segera diatasi, antara lain melalui upaya pengembangan budaya sambung rasa, baik antar individu, antar kelompok, antar rakyat dengan pemerintah.
Interaksi di antara manusia dengan manusia lainnya adalah bermula dari adanya perasaan yang tersambung, atau sambung rasa. Untuk memudahkan terjadinya sambung rasa, maka pikiran dan perasaan perlu terlebih dahulu di-netral-kan. Tidak perlu ada prasangka, praduga atau prediksi mengenai orang tertentu. Berperasaan, berpikir, berbicara dan bersikaplah dengan ikhlas, tanpa tuntutan atau kepentingan tertentu, niscaya interaksi social atau pergaulan akan begitu elok. Yuk menyambungkan rasa ! (Atep Afia)
Sebenarnya dalam pergaulan kita harus bisa menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan sekitar kita yang kita tempati atau yang kita kunjungi, Mulai dari gaya bicara atau sikap, itu seharusnya dijaga agar tidak terjadi mis-communication atau mis-feeling... sebagai contoh jika kita tidak bisa berbahasa daerah yang kita tempati, sebaiknya kita menggunakan bahasa nasional atau bahasa Indonesia...
ReplyDeleteS. ALBERTUS ASEP MAARIYADI - Tugas TB05
ReplyDeleteBergaul dengan sambung rasa, berbicara mengenai mis communication dan mis feeling, terkadang memang untuk memulai suatu perbincangan yang dilakukan untuk pertama kali kita cenderung sungkan dan malu malu, mungkin itu yang lakatarbelakangi terjadinya mis communication, latar belakang budaya dan pola perilaku yang dilakukan sehari hari juga merupakan salah satu faktor terjadinya mis communication. benar memang jika dikatakan feeling memiliki peran yang sangt penting dalam sebuah komunikasi. komunikasi yang baik akan terjadi jika diantar keduanya memiliki feeling yang sama.
sekian terima kasih....
S. ALBERTUS ASEP MAARIYADI - Tugas TB05
ReplyDeleteBergaul dengan sambung rasa, berbicara mengenai mis communication dan mis feeling, terkadang memang untuk memulai suatu perbincangan yang dilakukan untuk pertama kali kita cenderung sungkan dan malu malu, mungkin itu yang lakatarbelakangi terjadinya mis communication, latar belakang budaya dan pola perilaku yang dilakukan sehari hari juga merupakan salah satu faktor terjadinya mis communication. benar memang jika dikatakan feeling memiliki peran yang sangt penting dalam sebuah komunikasi. komunikasi yang baik akan terjadi jika diantar keduanya memiliki feeling yang sama.
sekian terima kasih....
@B08-ARIF
ReplyDeleteDalam kehidupan sehari hari kita selalu bertemu dengan orang-orang yang mungkin malah belum kita kenal, akan tetapi di Indonesia kita sangat ramah terhadap orang-orang asing maka dari itulah mereka para turis senang datang ke Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakat juga kita selalu sambung rasa dalam kekeluargaan bermasyarakat.
@B08-ARIF
ReplyDeleteDalam kehidupan sehari hari kita selalu bertemu dengan orang-orang yang mungkin malah belum kita kenal, akan tetapi di Indonesia kita sangat ramah terhadap orang-orang asing maka dari itulah mereka para turis senang datang ke Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakat juga kita selalu sambung rasa dalam kekeluargaan bermasyarakat.
@C10-DANU tugas TC05
ReplyDeletemenurut saya dalam bergaul jika kita ingin dipandang baik maka mulailah menata etika dan sopan santun kita,bisa juga kita harus menyesuaikan pakaian yang kita pakai. karena sebenarnya orang akan menilai orang lain itu berdasarkan pertama kali bertemu atau mungkin persepsi, persepsi orang pun berbeda beda maka jika kita mau dipandang baik mulailah menata etika kita dan sesuaikan pakaian kita yang saya maksud adalah sopan..
terimakasih