Oleh : Atep Afia Hidayat - Apa yang dimaksud dengan realitas ? Bagaimanakah realitas itu ? dan adakah realitas itu ? Realitas tak lain dari fakta yang terjadi dan dapat dibuktikan. Manusia dengan kelengkapan inderanya dapat memahami fakta-fakta alam dalam wujud fisik, misalnya matahari dan bintang yang menurut indra mata manusia memancarkan cahaya. Atau bunyi ada frekuensi yang terjangkau oleh telinga manusia. Atau wujud benda-benda lain yang memiliki masa dan volume.
Lalu apakah matahari, bintang dan benda-benda lainnya itu merupakan fakta? Adakah pengertian realitas didalamnya? Sedangkan matahari itu sendiri terdiri dari sekian ribu jenis unsur-unsur kimia, baik yang telah diketahui atau yang belum.
Begitu pula air bening di dalam gelas, konsep airnya sendiri sangat relatif. Pada dasarnya air tejadi dari persenyawaan hidrogen dan oksigen. Jadi fakta mengenai air itu sebenarnya bias, lalu apakah fakta berupa atom H atau O? Sebenarnya relatif juga, karena pada dasarnya sebuah atom tersusun atas elektron, netron dan proton. Sedangkan bagian-bagian itu masih terdiri dari sub-sub bagian.
Begitu pula menyangkut konsep manusia, bahkan lebih relatif lagi, di mana pengertian manusia itu menyangkut wujud fsiknya, kejiwaannya, tipe interaksinya, eksistensinya, pemikirannya, karakternya atau visinya. Misalnya kita menyebut nama si A kepada rekan kita si B, C, D dan E, tentu saja pendapat masing-masing mengenai si A akan berlainan. Hal tersebut sangat tergantung pada taraf interaksi, tingkat informasi dan sikap si penafsir, dalam hal ini si B, C, D dan E terhadap si A. Itulah realitas yang sangat relatif.
Kebanyakan manusia hidup dalam dunianya yang realitasnya sangat relatif. Manusia memang memiliki indra untuk menangkap informasi dari dunia luar. Tetapi informasi yang diterimanya telah diolah sedemikian rupa sehingga telah mendapatkan penyesuaian dengan situasi dan kondisi pengetahuan dan kejiwaannya sendiri. Semakin lemah situasi dan kondisi kejiwaan seseorang semakin tidak realitas orang tersebut menghadapi kehidupan.
Matahari, bintang, benda-benda bahkan manusia sendiri adalah merupakan konsep yang bias, karena posisinya sebagai yang diciptakan atau yang direkayasakan. Untuk setiap konsep yang bias terdapat kata-kata tumbuh, berkembang, menua dan punah, tentu saja selalu diawali dengan proses kejadiannya.
Kebalikan dari konsep bias tentu saja terdapat konsep yang paten, yaitu yang tidak dikenai sifat-sifat terjadi, tumbuh, berkembang, menua dan punah, konsep tersebut ialah pencipta atau perekayasa.
Bagaimanapun juga di dunia yang bias, manusia yang juga bias tidak akan pernah sepenuhnya berpijak pada realitas, tetapi juga dapat bersifat mendekati realitas. Pendekatan masing-masing individu terhadap realitas berlainan, antara lain tergantung pada situasi dan kondisi kejiwaannya, sebab unsur jiwa inilah yang mendekati realita.
Apakah indera seseorang dapat mempengaruhi kejiwaan untuk bertindak jauh dari realitas? Lalu bagaimanakah pada orang-orang yang cacat, misalnya cacat netra, apakah mereka memandang dunia selalu tidak realistis? Jiwa mendekati realistis, karena pada prinsipnya jiwa tidak pernah mati, sedangkan indra dan bagian badan lainnya akan melemah dan mati serta akhirnya akan kembali keasal bahan pembentukannya, tanah berikut unsur-unsurnya.
Jadi pada prinsipnya indera yang bias tidak akan mempengaruhi jiwa yang mendekati realitas. Apakah pada pengadilan kasus pemukulan secara disengaja yang disalahkan itu tangannya? Sama sekali tidak, karena pada dasarnya seluruh indra dan badan kita tidak pernah salah. Melihatnya mata kita pada pandangan apapun adalah bukan karena keinginan mata itu sendiri. Pandangan mata jika tidak disertai konsentrasi dan perhatian tidak akan menghasilkan apapun, itu namanya melongo. Sedangkan konsentrasi dan perhatian itu tak lain merupakan bagian dari aktivitas kejiwaan.
Jiwa itu tidak punah, dari tergolong mendekati paten. Jiwa adalah unsur pendinamis (baca = dinamisator) dalam kehidupan seseorang. Sedangkan tubuh (baca = indra) adalah fasilitas pendukung dan pelengkap. Hidup sekarang ini adalah mati, dan setelah mati (baca = meninggal dunia) itulah kita benar-benar hidup, sebab akan terbebas dari tubuh yang bias dan relatif serta meninggalkan dunia yang juga bias dan relatif, untuk menuju alam lain yang mendekati realitas.
Di dunia ini manusia menjalankan hidup, tidur, dan mati. Dalam konsep hidup itulah akan terjadi beragam situasi dan kondisi kejiwaan, berfluktuasi antara menjauhi dan mendekati realitas, serta sangat tergantung pada bagaimana mengelola kejiwaan itu sendiri. Jiwa memilki otonomi penuh untuk mengurus, mengelola dan mengambil keputusan dalam menentukan dan merencanakan langkah-langkah kehidupan. Sedangkan tidur adalah fase istirahat dimana kejiwaan mengurangi aktivitasnya.
Lalu berada dimanakah jiwa seseorang ketika sedang tidur? Hal ini perlu pemikiran lebih lanjut. Dalam tidur sendiri terdapat konsep mimpi, yang merupakan aktivitas kejiwaan juga. Sedangkan dalam tidur yang nyenyak, jiwa kita seolah-olah sirna. Tetapi jika begitu, kenapa orang yang tidur pulaspun masih bernafas, lalu apa kaitannya antara pernafasan dan kejiwaan. Pada orang yang mati atau meninggal (kan) dunia kejiwaannya lenyap (baca = pergi), begitu pula pernafasannya. Lalu apakah pernafasan itu merupakan aktivitas kejiawaan atau kegiatan fisik semata ?
Orang yang tertidur inderanya seolah-olah tidak berfungsi, telinganya tidak mendengar, matanya tidak melihat, bahkan seolah-olah lupa sekelilingnya, meskipun tertidur di atas lantai yang tanpa alas. Apakah orang yang tertidur kejiwaannya mendekati atau menjauhi realitas? Sedangkan konsep mati dapat diartikan sebagai proses berpindahnya kejiwaan yang berasal dari alam yang bias dan relatif ke alam yang mendekati realitas. Tentu saja dengan meninggalkan sesuatu, antara lain tubuh yang bias dan relatif tersebut.
Berpijak pada realitas maksudnya ialah sebagai upaya pengelolaan kejiwaan untuk senantiasa mendekati realitas, serta menekan seminim mungkin terjadinya situasi dan kondisi yang menjauhi realitas. Terutama pada saat situasi dan kondisi kejiwaan yang tengah bangun.
Hal yang paling menentukan dalam kehidupan didunia yang bias dan relatif ini adalah situasi dan kondisi kejiwaan dari orang yang menjalaninya, dan juga situasi serta kondisi lingkungannya. Tinggal menentukan sendiri, apakah kejiwaan didekatkan pada realitas atau pada sesuatu yang bias, semu dan subyektif.
Sebagai penutup dari tulisan ini tak salahnya jika disertakan sebuah sajak dari Taufiq ismail :
Farriduddin Attar bangunlah pada malam hari.
Dan dia memikirkan tentang dunia ini
Ternyata dunia ini.
Sebuah peti yang besar dan tertutup diatasnya
Dan kita manusia berputar-putar di dalamnya
Dunia sebuah peti yang besar
Dan tertutup diatasnya
Dan kita terkurung didalamnya
Dan kita berjalan-jalan didalamnya
Dan kita bermenung didalamnya
Dan kita membuat peti didalamnya
Dan kita membuat peti
Di dalam peti ini……
Dan dia memikirkan tentang dunia ini
Ternyata dunia ini.
Sebuah peti yang besar dan tertutup diatasnya
Dan kita manusia berputar-putar di dalamnya
Dunia sebuah peti yang besar
Dan tertutup diatasnya
Dan kita terkurung didalamnya
Dan kita berjalan-jalan didalamnya
Dan kita bermenung didalamnya
Dan kita membuat peti didalamnya
Dan kita membuat peti
Di dalam peti ini……
Dengan demikian renungan kita dialam kesemuanya semakin dilengkapi. (Atep Afia)
S. ALBERTUS ASEP MARIYADI - Tugas TB05
ReplyDeleterealitas sebuah kata yang sulit ditafsirkan, seperti halnya konsep mengenai kehidupan dan kenyataan hidup itu sendiri. isi yang termuat dalam artikel ini juga selit untuk ditafsirkan, banyak hal yang terkesan membingungkan si pembaca, atau mungkin si pembaca sendiri yang terbiasa dengan kehidupan yang semacam ini, kahidupan yang seirama, sejalur dan doktrin doktri yang ada pada masyarakat yang menjadikan sebuah kehidupan yang biasa.????
sekian terima kasih....
S. ALBERTUS ASEP MARIYADI - Tugas TB05
ReplyDeleterealitas sebuah kata yang sulit ditafsirkan, seperti halnya konsep mengenai kehidupan dan kenyataan hidup itu sendiri. isi yang termuat dalam artikel ini juga selit untuk ditafsirkan, banyak hal yang terkesan membingungkan si pembaca, atau mungkin si pembaca sendiri yang terbiasa dengan kehidupan yang semacam ini, kahidupan yang seirama, sejalur dan doktrin doktri yang ada pada masyarakat yang menjadikan sebuah kehidupan yang biasa.????
sekian terima kasih....