Oleh : Atep Afia Hidayat - Pasca era reformasi tahun 1998 aksi demontrasi (demo) sering mewarnai pemandangan di berbagai kota Indonesia, tidak saja di kota
besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Makasar, di kota-kota kecil pun demo
terjadi. Motornya ialah mahasiswa aktivis kampus, kalangan LSM dan buruh.
Topiknya beragam dan belakangan yang paling sering ialah mengkritisi kinerja pemerintahan SBY-Budiono.
Demo erat kaitannya dengan upaya menyampaikan aspirasi. Pendemo mengatasnamakan aspirasi dan kepentingan rakyat. Sebenarnya pihak yang didemo juga, yaitu pemerintah yang berkuasa, adalah menjalankan pemerintahan yang dibentuk oleh rakyat melalui proses demokrasi. Melalui Pemilu rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusrawaratan Rakyat, sekaligus memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai Kepala Negara. Jadi sebenarnya, baik pendemo maupun yang didemo membawa misi yang serupa dan sama, yaitu memperjuangkan aspirasi dan kepentingaan rakyat.
Pemerintahan SBY mendapat mandat
dari rakyat sampai 2014 untuk bekerja, berupaya dan mewujudkan berbagai
aspirasi dan kepentingan rakyat. Tentu tidak semua rakyat merasa puas, ada
elemen rakyat yang merasa kinerja pemerintahan SBY kurang baik, bahkan ada yang
menilai gagal. Di sisi lainnya ada juga elemen rakyat yang menyatakan kinerja
pemerintahan SBY berhasil.
Beragam pendapat sebenarnya sah-sah saja, karena
masing-masing menggunakan parameter atau indikator yang berbeda. Namun yang
perlu diperhatikan adalah fakta di lapangan, bukan angka-angka di atas kertas.
Bagaimana kondisi obyektif rakyat di negara ini. Apakah kesejahteraan sudah
merata, atau masih banyak ketimpangan-ketimpangan, baik menyangkut sosial,
ekonomi, hukum, dan aspek kehidupan berbangsa bernegara lainya.
Di dalam demo seringkali terjadi
“kontak fisik”, terutama antara pendemo dengan aparat keamanan. Demo di
Makasar, tanggal 19 Oktober 2010 kemarin misalnya, saat kunjungan Presiden SBY
ke Makassar. Bentrok antara mahasiswa sebagai pendemo dengan polisi sebagai
penjaga keamanan tidak bisa terhindarkan, meskipun masih relatif terkendali.
Padahal elemen mahasiswa dan polisi sebenarnya sama-sama “dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat”. Apa yang diperjuangkan polisi dan mahasiswa
sebenarnya sama dan sebangun, yaitu aspirasi dan kepentingan rakyat. Demo
terjadi sebagai dinamika dalam berdemokrasi.
Namun keutuhan bangsa dan negara
ini adalah hal yang utama, begitu pula aspirasi dan kepentingan rakyat, harus
diperjuangkan bersama. Terjadinya demo tentu dengan sebab dan motivasi
tertentu. Demo merupakan upaya mengkritisi, meluruskan, dan mengingatkan supaya
pemerintah kembali pada hakikat pemerintahan itu sendiri, supaya Presiden
kembali pada tugas, kewajiban, janji dan sumpahnya.
Oleh sebab itu, baik
pendemo, aparat keamanan dan pemerintah, harus berada pada kedudukan dan
fungsinya, sehingga pada akhirnya aspirasi dan kepentingan rakyat bisa
tersalurkan. Tidak ada anarkisme pendemo, tidak ada arogansi amarat keamanan,
dan tidak ada pemerintahan yang buta-tuli. Jangan ada dusta di antara elemen
demokrasi. (Atep Afia)
@A26-sinta, tugas TA05
ReplyDeletesebenarnya demo itu tidak ada maslah aslkan tidak mengundang keributan. sebagai mahasiswa tentunya kita sudah dewasa, sudah mengerti baik dan buruk. kita boleh mendemo tapi dengan catatan tidak keributan soalnya aparat yang anda lempari dengan batu juga manusia. mereka juga punya keluarga yang mereka lindungi. mereka melakukan pekerjaan itu untuk kepentingan juga. jadi kalo ingin aspirasi anda di dengar oleh pemerintah sehaarusnya anda melkaukan demo dengan tertib agar mereka mau mendengarkan anda.
Pazrin Salsabila @E01-Pazrin
ReplyDeleteDemonstrasi itu aspirasi, jadi berdemolah dengan santun dan terkendali, sebagai contoh jika aspirasi kita ingin didengar dan diturui maka ada tatacara yang antun dan tidak mungkin dengan pemaksaan, apalagi anarkis. demo suatu hal yang wajar di negara demokrasi namun juga harus ada aturan mainnya, jangan asal atasnama rakyat para pendemo bisa seenaknya.