Oleh : Atep Afia Hidayat - Hampir setiap hari kita disuguhi gambar koruptor
di televisi, bisa sampai belasan kali per hari, dari seluruh stasiun yang
menyiarkan berita. Bahkan, acara persidangan yang mengadili koruptor belakangan
sering disiarkan secara langsung. Ternyata bukan hanya Liga Inggris atau Liga
Spanyol saja yang bisa ditonton secara langsung melalui layar kaca, Liga
Koruptor juga kini bisa tersaji didepan mata.
Hal yang paling mengenaskan,
memprihatinkan sekaligus memuakan, ternyata peserta Liga Koruptor banyak yang
berasal dari kalangan legislatif, yang keluar dari sarangnya di DPR. Tidak
salah jika secara perlahan gedung dewan yang terhormat bermetamorfosa menjadi
sarang koruptor.
Berbagai kasus korupsi yang melibatkan anggota
DPR mencuat ke permukaan, mulai dari pembangunan wisma atlet di Palembang; cek
perjalanan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI dan proyek alih fungsi
hutan lindung di Sumatera Selatan, proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran di
Provinsi Riau, alih fungsi hutan di Pulau Bintan Kepulauan Riau, dan proyek pembangunan bandara dan pelabuhan di Kawasan Timur Indonesia
(KTI), dengan potensi kerugian negara secara keseluruhan bisa mencapai Rp. 250
miliar.
Kasus korupsi seperti fenomena gunung es, di mana yang muncul ke
permukaan relatif kecil, dan yang berada di bawah permukaan begitu besar.
Lantas, berapa “T” rupiah potensi dana dikorupsi yang saat ini masih di bawah
permukaan, belum terusik.
Sangat tepat judul tulisan yang menjadi headline
Harian Kompas, 29 Februari 2012, “Korupsi di DPR Makin Ganas”, yang antara lain
menyebutkan bahwa korupsi di DPR pun kini berkembang menjadi korupsi kartel
elite. Korupsi kartel elite ini biasanya mendapatkan dukungan jaringan politik
(Parpol), ekonomi (pengusaha), aparat penegak hukum, dan birokrasi. Dengan kata
lain korupsi di DPR semakin canggih, sistemik dan komprehenshif.
Keberadaan
Badan Anggaran (Banggar) belakangan makin banyak disorot, karena sangat rawan
korupsi dan disinilah bagaimana
proyek-proyek diatur dan didistribusikan ke kroni-kroni atau partai pendukung.
Dalam hal ini sangat mendesak supaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera
membongkar kartel di Banggar.
Anggota DPR sejatinya dapat menjalankan amanah
yang diembannya, antara lain dalam kaitannya dengan fungsi legislasi (pembuatan
undang-undang), fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Namun sangat
disayangkan, seringkali amanah tersebut tidak dijalankan secara serius, malah
menjadi obyek permainan. Sebagai lembaga demokrasi seharusnya DPR melaksanakan
musyawarah menyangkut legislasi, anggaran dan pengawasan.
Namun dalam
prakteknya sering terjadi negosiasi yang mengacu pada UUD (ujung-ujungnya
duit). Tak heran jika keputusan yang dihasilkan dari proses persidangan yang
berlarut-larut sama sekali bukan untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan
rakyat, tetapi lebih kepada nilai nominal untuk kepentingan pribadi dan
kelompoknya.
Menjelang Pemilu 2014 semua mesin Parpol kian
memanas dan sangat membutuhkan pelumas. Lantas, darimana pelumas itu didapatkan
? Mudah diduga sebagian pelumas itu bersumber dari sumbangan anggota DPR. Kalau
mau dicalonkan lagi dengan nomor urut jadi, ya pelumasnya harus ampuh dan
mumpuni. Bagi anggota DPR yang memiliki sumber pelumas yang bisa
dipertanggungjawabkan keabsahannya tidak menjadi persoalan.
Lantas, bagaimana
dengan anggota DPR yang tidak memiliki sumber pelumas ? Padahal hasratnya untuk
tetap bercokol di parlemen masih menggebu-gebu, ujung-ujungnya bisa saja
terjebak dalam korupsi. Untuk bisa mempertahankan posisinya, tidak heran jika
ada anggota DPR yang ikut –ikutan mengatur pelaksanaan proyek di lembaga
pemerintahan tertentu, dan tentu saja memperoleh imbalan dari aktifitasnya
tersebut.
DPR jangan jadi sarang koruptor, artinya DPR harus steril dari berbagai kasus
korupsi. Lantas bagaimana caranya, apakah tikus-tikus atau gerombolan tikus
bisa ditangkapi satu-per-satu sehingga tidak tersisa sama sekali, atau
mungkinkah sarangnya dibakar sekalian supaya tikus-tikusnya musnah ?
Sebenarnya
semua berpulang pada kecerdasan rakyat dalam menentukan pilihannya. Jangan
pilih Parpol yang suka korupsi atau pernah terlibat korupsi, dan jangan pilih
calon legislatif (Caleg) yang sudah dikenal sebagi koruptor. (Atep Afia)
Benar kalau rakyat harus pintar-pintar memilih pemimpin, akan tetapi bukan salah rakyat juga kalau akhirnya pemimpin yang mereka pilih ternyata terlibat dalam kegiatan korupsi.
ReplyDeletePemimpin yang dipilih rakyat adalah orang-orang yang terpercaya, yang dengan kata-kata dari janji yang pernah mereka ucapkan membuat rakyat percaya dan yakin kalau yang mereka pilih adalah orang yang benar. Namun dalam perjalanannya orang yang telah mengemban amanat itu melenceng dari janjinya dan mengkhianati rakyatnya.
Harusnya mereka malu, akan tetapi rasaya malunya hilang karena segunung uang rakyat yang dia makan.
Memilih pemimpin seharusnya jangan menilai dari segi alumni,suku,agama,partai,tetapi berdasarkan kapabilitas dan sepak terjang calon pemimpin itu sendiri.
ReplyDelete@21-Djarwoto
Benar kalau rakyat harus pintar-pintar memilih pemimpin, akan tetapi bukan salah rakyat juga kalau akhirnya pemimpin yang mereka pilih ternyata terlibat dalam kegiatan korupsi.
ReplyDeletePemimpin yang dipilih rakyat adalah orang-orang yang terpercaya, yang dengan kata-kata dari janji yang pernah mereka ucapkan membuat rakyat percaya dan yakin kalau yang mereka pilih adalah orang yang benar. Namun dalam perjalanannya orang yang telah mengemban amanat itu melenceng dari janjinya dan mengkhianati rakyatnya.
Harusnya mereka malu, akan tetapi rasaya malunya hilang karena segunung uang rakyat yang dia makan.
@B33-Fitria
Priyo Dwi Wijaksono @E17-Priyo, @Tugas B05
ReplyDeleteSaat ini yg harus dikedepankan yaitu memilih pemimpin yg jujur, adil, tegas dan integritas. Memilih seorang pemimpin tidak pada boleh berdasarkan ras, suku, agama, dan lain-lain. Karena sudah jelas ditegaskan dalam Undang-undang Dasar.