Oleh : Atep Afia Hidayat - Sebuah partai politik yang
masih eksis menggelar kongres luar biasa beberapa hari yang lalu di Bali.
Hasilnya mudah ditebak, terbentuk kepengurusan Parpol yang merangkap jabatan dengan
tugas kenegaraan. Tidak tanggung-tanggung ada yang merangkap jabatan presiden
dan menteri. Bukan fenomena baru dan sama sekali tidak menarik, namun betapa
mengenaskan. Apa sulitnya mencari figur atau tokoh tertentu untuk ditempatkan
dalam kepengurusan Parpol.
Kegagalan kaderisasi, itulah
pangkal persoalan kenapa performa dan kinerja Parpol seperti jalan di tempat,
bahkan mundur ke belakang. Semestinya setiap Parpol memiliki pola kaderisasi
yang matang dan mumpuni, sehingga ketika kader senior beralih status dari
politisi menjadi negarawan, maka kader yang lebih muda sudah siap melanjutkan
estafet kepemimpinan Parpol.
Dari sekian banyak Parpol bisa
dihitung dengan satu-dua jari yang memiliki pola kaderisasi yang matang. Dengan
demikian, jika ada kasus sang Ketua Parpol berhalangan dengan sesuatu sebab,
maka kader peringkat berikutnya telah siap untuk menggantikannya. Dalam hal ini
ada pergantian ketua Parpol yang bersifat demokratis, aklamasi, ada juga yang
mengacu pada keinginan atau wangsit “Eyang Parpol”. Itulah keunikan perparpolan
di Indonesia, biasanya setiap Parpol memiliki figur tertentu yang amat
disegani, sehingga setiap perkataannya selalu diikuti seluruh kader.
Rangkap jabatan memang tidak
melanggat aturan apapun, namun dari segi kepatutan dan kelayakan sungguh tidak
patut dan tidak layak. Untuk keberhasilan suatu organisasi, apalagi setingkat
Negara dibutuhkan focus sefokus-fokusnya dari sang pengelola negara. Ketika
seorang politisi ber-metamorfosa menjadi seorang negarawan, maka dipundaknya
disandang kewajiban terhadap bangsa dan Negara, lupakan kepentingan Parpol yang
hanya mengadopsi kepentingan sebagian kecil komponen bangsa.
Presiden RI itu berkewajiban
mensejahterakan 240 juta rakyat yang tersebar di seluruh pelosok tanah air,
bukan sekedar mengurusi sebuah Parpol yang hanya diikuti oleh jutaan atau
puluhan juta pendukungnya. Begitu pula untuk politisi yang beralih status
menjadi menteri yang bertanggung-jawab terhadap pengelolaan sebuah kementerian.
Selayaknya berhentilah menjadi ketua atau pengurus Parpol, karena bagaimanapun
jabatan menteri jauh lebih penting dan bergengsi.
Sudahlah yang lalu biar
berlalu, namun ke depan fenomena rangkap jabatan peluangnya perlu dipersempit.
Diperlukan aturan perundang-undangan bahwa presiden, wakil presiden, menteri,
dan pejabat Negara lainnya sebisa mungkin tidak merangkap jabatan. Hal itu
dengan maksud supaya lebih serius dan fokus dalam mengurusi negara; Memberikan
peluang dan kesempatan kepada orang lain untuk menjadi pejabat (Parpol
misalnya); dan untuk memisahkan kepentingan negara dan bukan urusan negara.
Secara logika politik sederhana
mengurusi kepentingan bangsa dan Negara adalah jauh lebih penting daripada
mengurusi kepentingan Parpol. Nah, seandainya rakyat sudah memberikan amanah
untuk mengelola Negara, dahulukan kepentingan yang lebih besar. Apalagi
memperhatikan kondisi negara kita yang posisinya belum berada “di atas angin”,
sangat memerlukan pemerintahan yang kredibel dan professional.
Ada banyak urusan penting yang
harus dituntaskan pengelola negara, mulai dari urusan besar seperti kedaulatan
wilayah negara di perbatasan, penyelesaian riak-riak disintegrasi negara di
beberapa daerah, persoalan ketenagekerjaan di beberapa Negara; Urusan seperti
harga bbm, tarif listrik, banjir, kemacetan lalulintas, sampai harga bawang,
cabai dan daging sapi yang irasional. Ada lebih dari 1001 urusan berbangsa dan
bernegara yang perlu penanganan khusus, oleh sebab itu supaya lebih serius jika
telah bersedia diberi amanah untuk mengelola bangsa dan negara. (Atep Afia)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.