Oleh : Atep Afia Hidayat - Guru merupakan profesi yang sangat menentukan maju-mundurnya suatu bangsa. Bagaimana daya saing bangsa Indonesia, tidak terlepas dari bagaimana kualitas guru. Siapapun yang memimpin dan mengelola bangsa dan negara ini, tentu saja pernah berstatus murid, yang belajar kepada guru. Bahkan, Barack Obama, yang saat ini menjadi Presiden Amerika Serikat, sebuah negara terkemuka di dunia, juga tidak melupakan keberadaan guru-gurunya di SD Menteng, Jakarta Pusat.
Sepak terjang guru, begitu menentukan masa depan seseorang. Bagaimana kita bisa membaca dan menulis, berhitung, berbahasa, berpengetahuan, tidak terlepas dari peran bapak dan ibu guru. Dalam film Laskar Pelangi digambarkan, begitu besarnya jasa dan pengorbanan Ibu Guru Halimah, sehingga beberapa anggota laskar pelangi bisa sukses, bahkan kemudian hari bisa melanjutkan kuliah di Perancis, untuk meraih gelar Doktor.
Ya, siapapun Anda, dalam episode kehidupan Anda, interaksi dengan guru begitu berpengaruh nyata terhadap sikap dan kepribadian Anda. Kita yang sudah dewasa, seringkali mengenang masa lalu, saat-saat duduk di bangku SD, SMP atau SMA. Terbayang wajah bapak dan ibu guru, ada yang begitu baik, ada yang galak, ada yang cara mengajarnya mudah dimengerti, ada yang sulit.
Nah, belakangan ternyata ada yang dikenal dengan kompetensi guru. Bapak atau ibu guru kita, yang mengajarnya profesional, akrab dengan murid dan koleganya, berkepribadian menarik, serta pintar menulis, dikatagorikan sebagai guru yang memiliki kompetensi, sehingga berhak lolos sertifikasi.
Menulis ternyata menjadi salah satu kompetensi guru. Untuk itu Kemendiknas menyelenggarakan pelatihan menulis bagi para guru. Menurut Mendiknas (dalam Kompas, 1 November 2010), banyak guru tidak bisa naik ke golongan IV B, karena tidak mampu menulis karya ilmiah. Sebagian besar guru, sekitar 570 ribu orang, atau 22 persen dari jumlah guru secara keseluruhan, mentok di golongan IV A. Karena kurang memiliki kemampuan menulis.
Ternyata sebagian besar guru kurang pandai menulis. Padahal tuntutan sertifikasi harus mampu menyusun karya ilmiah. Persoalannya, bagaimana bisa menulis karya ilmiah kalau menulis artikel saja kurang mampu. Logikanya, kalau terbiasa menulis artikel, apalagi artikel ilmiah populer, maka menulis karya ilmiah pun bukan menjadi hambatan lagi.
Dalam hal ini Pemerintah cukup serius dalam memperhatikan keberadaan guru, tak heran jika dalam tahun 2010 ini hampir Rp. 60 triliun anggaran pendidikan dialokasikan untuk gaji guru PNS, tunjangan khusus guru di daerah terpencil, dan tunjangan profesi guru. Sementara menurut Mendiknas, Mohammad Nuh, guru-guru yang sudah lolos sertifikasi umumnya tidak menunjukkan kemajuan, baik dari sisi pedagogis, kepribadian, profesional, maupun sosial. Menurut Mendiknas, guru hanya aktif menjelang sertifikasi, tetapi setelah dinyatakan lolos, kualitas mereka justru semakin menurun (Kompas, 1 November 2010, halaman 12).
Nah, Blog Detik dan Kompasiana misalnya, sudah menyediakan fasilitas untuk kegiatan menulis. Siapapun bisa mencurahkan pendapat dan menuliskan pengalamannya, termasuk para guru. Supaya para guru lebih serius, sangat tepat jika Mendiknas memberikan instruksi khusus. Kalau perlu diadakan MOU antara Kemendiknas dengan Blog Detik dan Kompasiana untuk memfasilitasi budaya menulis para guru. Bisa saja dalam bentuk Blog Detik Guru atau Kompasiana Guru. Sudah tentu Blog Detik dan Kompasiana bakal lebih meriah, mengingat ada jutaan guru di Indonesia.
Sinergi Kemendiknas dengan Blog Detik atau Kompasiana adalah untuk meningkatkan kompetensi guru, khususnya dalam bidang menulis. Jika para guru sudah piawai menulis, maka berbagai karya ilmiah pun akan bermunculan, bahkan buku-buku yang berkualitas. Lebih jauh lagi hal ini akan berpengaruh langsung bagi kemajuan bangsa dan negara.
Langkah sertifikasi guru idealnya bukan program pragmatis yang hanya mengejar data kuantitas, tetapi harus lebih memperhatikan esensi kompetensi yang sebenarnya. Begitu pula kemampuan menulis sebagai bagian dari kompetensi, tidak bisa dicapai melalui kegiatan pelatihan sesaat, tetapi perlu upaya mengubah cara berpikir dan proses membiasakan diri.
Kemampuan menulis akan muncul jika jam terbang menulis telah mencapai minimal 10 ribu jam. Nah, bapak dan ibu guru, mari kita membudayakan menulis melalui Kompasiana. (Atep Afia)
Guru harus rajin menulis, jika menulis menjadi salah satu hal dalam kompetensi guru, saya setuju karena bila guru rajin menulis maka upaya untuk mencerdaskan anak bangsa menjadi lebih terwujud.. dengan menulis akan banyak bertambahnya ilmu pengetahuan baik untuk guru ataupun murid
ReplyDeleteKalau pepatah jawa bilang "guru"artinya digugu dan ditiru hal ini yang menjadi panutan dan contoh bagi murid - muridnya serta berperan aktif,mampu menulis dalam mencapai kesuksesan.
ReplyDeletebukankah memang seharusnya demikian dan saya setuju dengan artikel ini, kalau gurunya saja tidak dapat menulis, merangkai kata-kata hingga menjadi sebuah kalimat bagaimana para muridnya dapat menulis dengan baik, dapat membuat sebuah kalimat dengan baik. jadi ada baiknya guru dan murid berlomba mebuat tulisan yang emnarik dan inspiratif bagi para pembaca dan membuat anak sekolah sekarang gemar menulis dan membaca..
ReplyDeletetidak semua guru harus sering atau rajin menulis,pak ! karena belum tentu seorang guru yang rajin menulis atau membaca bisa berkomunikasi dengan baik kepada peserta didik. Ada yang pandai dalam menulis dan ada yang pandai dalam komunikasi.
ReplyDelete@C30-WISMOYO ,TUGAS TC 05
ReplyDeleteMembaca dan menulis mempunyai keterikatan yang kuat. Jika seseorang sudah memiliki kegemaran menulis dapat dipastikan ia adalah sesorang yang suka membaca. Tentu saja dengan kompesasinya adalah ketika rajin membaca akan memiliki pengetahuan wawasan yang luas.
@B27-WILLY, TB05
ReplyDeleteSebenarnya baik menulis mau pun membaca itu adalah salah satu cara untuk menambah ilmu. Adapun pengetahuan kalau apa yang telah dibaca ditulis ulang, maka pengetahuan itu akan lebih teringat