Pages

KAA Media Group

Apr 24, 2013

Kekayaan Tiga Konglomerat “Melebihi” Volume Usaha Seluruh Koperasi Di Indonesia !

Oleh : Atep Afia Hidayat - Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM (posisi 30 Desember 2010), jumlah koperasi di Indonesia mencapai 177.482, sebanyak 52.627 dalam kondisi tidak aktif. Jumlah anggota koperasi mencapai hampir 30,5 juta orang, dengan volume usaha mencapai 72,822 triliun rupiah, menyerap hampir 359 ribu manajer dan karyawan.

Kenyataannya kontribusi koperasi terhadap perekonomian nasional jauh lebih kecil dibandingkan dengan dengan kekuatan swasta. Sektor swasta, khususnya konglomerat nomor 1, 2 dan 3 di Indonesia, memiliki kekayaan sekitar 76,5 triliun rupiah (berdasarkan data Forbes, Maret 2011, Budi Hartono dan Michael Hartono, sama-sama memiliki harta senilai 5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 45 triliun. Sementara Low Tuck Kwong dengan kekayaaan senilai 3,6 miliar dollar AS, atau Rp. 31,5 triliun.), dengan jaringan bisnis internasional. Bandingkan dengan seluruh volume usaha koperasi di Indonesia !

Bayangkan, volume usaha seluruh koperasi yang ada di Indonesia masih rendah jika dibanding jumlah aset tiga konglomerat terbesar di Indonesia. Menyangkut kepemilikan jaringan usaha yang dimiliki usaha swasta terkemuka sudah sedemikian melebar, bahkan cenderung bersifat monopolistik.

Kalau saja koperasi membentuk jaringan kerja yang terpadu dan terintegrasi, tidak mustahil aset dan omsetnya menggelembung. Sebagai contoh, jaringan koperasi konsumsi di Singapura, ternyata mampu menguasai 52 persen bisnis eceran. Di Indonesia, berapa persen bisnis eceran yang dikuasai koperasi, mungkin di bawah 5 persen saja, itupun di daerah pedesaan (non perkotaan). Di perkotaan peranan koperasi lebih terdesak lagi, karena begitu banyaknya usaha swasta yang mendominasi.

Padahal idelanya koperasi mampu berperan sebagai soko guru perekonomian nasional. Meningkatnya kinerja koperasi diharapkan mampu memperbaiki kinerja perekonomian nasional. Selain itu koperasi diharapkan menjadi kekuatan ekonomi yang mampu mendongkrak keberadaan penduduk yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Tampaknya agak sulit bagi usaha swasta dan BUMN untuk berperan penuh dalam upaya mengangkat sekitar 32 juta penduduk Indonesia yang masih terpuruk dalam kemiskinan. Hal itu disebabkan misi bisnis yang lebih dipentingkan, meskipun ada yang namanya corporate social responsibility (CSR) sifatnya masih temporer, pada beberapa perusahaan masih terkesan basa-basi. Koperasi selain mengemban misi bisnis juga misi sosial, diharapkan mampu menjangkau lapisan ekonomi paling bawah .

Mengembangkan jaringan kerja koperasi berarti memeperkuat kemampuan dalam terobosan-terobosan bisnis, sekaligus meningkatkan kualitas dan kuantitas misi sosial. Salah satu contoh konkretnya ialah dalam program penyaluran kredit usaha baik untuk petani, pedagang kecil atau industri kecil. Sudah selayaknya program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) jangkauannya diperluas, dengan disertai kemudahan namun tetap harus dipertanggungjawabkan.

Melalui jaringan kerja yang terpadu, maka kebutuhan modal kelompok ekonomi kecil tersebut menjadi mudah untuk dipenuhi. Terbentuknya jaringan kerja berarti terjadi akumulasi modal dan bertambahnya peluang usaha. Dengan kata lain potensi ekonomi menggelembung dan kiprahnya bisa makin jelas.

Menurut Dr Thoby Mutis, lemahnya jaringan kerja koperasi disebabkan oleh dua hal : pertama kepengurusan koperasi dilaskanakan sendiri-sendiri; dua pembinaan partisipasi anggota sangat rapuh sehingga koperasi tidak mempunyai kekuatan untuk tumbuh menjadi kuat. Sedangkan menurut Guru Besar Ikopin Bandung, Prof Dr Yuyun Wirasasmita, bahwa kelemahan koperasi bukan kelemahan kaidah namun dikarenakan adanya penyimpangan dari kaidah koperasi sehingga membuat badan usaha itu tidak efektif.

Berbeda dengan di negara lainnya, di Indonesia ada departemen teknis yang menangani koperasi, yakni Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Hal itu mencerminkan keseriusan pemerintah untuk menumbuh-kembangkan koperasi, sehingga dalam kabinet disediakan instusi tersendiri.

Namun campur tangan yang berlebihan terhadap penanganan koperasi dikhawatirkan akan melahirkan semacam pseudo-koperasi, koperasi yang posisi anggotanya kurang menentukan, hanya sebagai pelengkap, karena pengambilan keputusan, perencanaan dan kontrol cenderung dilakukan pihak lain.

Apalagi jika koperasi dibentuk “dari atas” sesuai dengan target tahunan yang ditetapkan. Sudah tentu koperasi yang demikian tidak benar-benar memiliki “jiwa koperasi”, hanya semacam “sekumpulan wayang yang digerakkan ki dalang”.

Peranan Kementerian Koperasi dan UKM bisa lebih diarahkan pada upaya pembinaan dan konsultasi, atau sebagai “payung” bagi perkoperasian nasional. Kementerian Koperasi dan UKM bisa bekerjasama dengan Dekopin (Dewan Koperasi Indonesia) atau Induk Koperasi untuk memantapkan jaringan kerja koperasi nasional.

Koperasi diharapkan menjadi soko guru dalam perekonomian nsional, sehingga peta kekuatan ekonomi nasional tidak hanya didominasi swasta dan BUMN. Kondisi perkoperasi memang perlu dibenahi lebih lanjut, melalui jaringan kerja diharapkan bisa saling mengisi dan melengkapi.

Koperasi yang memiliki keunggulan dalam bidan tertentu bisa membina koperasi lainnya yang belum maju. Begitu pula koperasi yang kelebihan dana bisa bekerjasama dengan koperasi lainnya untuk melakukan investasi atau proyek bersama.

Kalau kondisi koperasi sudah mapan maka proyek-proyek besar berskala nasional bisa diperoleh, misalnya dalam pengadaan jenis barang tertentu. Selama ini proyek pengadaan barang impor selalu ditangani usaha swasta besar (konglomerat) dan BUMN, hal itu mengingat koperasi belum mampu menjadi rekanan.

Untuk mengembangkan jaringan kerja koperasi tentu saja diperlukan tenaga profesional. Dengan sedikit polesan dan penambahan wawasan, lulusan perguruan tinggi perkoperasian bisa berperan aktif. Selain itu, sarjana-sarjana ekonomi dan sosial ekonomi pertanian, juga dapat dikembangkan skill-nya untuk menjadi tenaga-tenaga profesional dalam bidang perkoperasian.

Di Belanda, Jepang dan Australia sudah ada kekuatan koperasi yang menjelma menjadi konglomerat, baik itu dalam bidang perbankan atau menguasai produk tertentu. Untuk mengembangkan visi, tak ada salahnya tenaga-tenaga dari Indonesia dikirim ke sana untuk memperoleh pelatihan. Atau sebaliknya, tenaga professional dari luar didatangkan ke Indonesia untuk mengintroduksikan kemampuannya.

Hal yang tak kalah pentingnya ialah “Memasyarakatkan Koperasi”, namun dalam hal ini tidak berarti memaksa dengan cara-cara tertentu agar masyarakat menjadi anggota koperasi. Bagaimanapun menjadi anggota koperasi harus didasari sikap suka rela, tanpa paksaan.

Memasayarakatkan koperasi ialah mempopulerkan koperasi di tengah masyarakat, baik melalui penyuluhan, kampanye atau siaran pendidikan perkoperasian melalui media cetak, elektronik dan online. Dengan adanya jaringan kerja koperasi yang mapan, maka luapan minat masyarakat untuk menjadi anggota bisa tersalurkan. Dalam hal ini perbaikan kinerja koperasi berarti memperkokoh keberadaan koperasi, dengan kata lain koperasi menjadi semakin populer, hal itu sekaligus akan menimbulkan rangsangan bagi masyarakat untuk mendekati sekaligus menjadi anggota koperasi.

Pengembangan jaringan kerja tentu saja perlu didukung oleh pemanfaatan teknologi, paling tiak dilengkapi dengan jaringan internet. Dengan demikian pengelolaan data dan informasi menjadi lebih mudah dan selalu online serta update.

Bagaimanapun suatu jaringan kerja memerlukan perangkat keras dan perangkat lunak. Untuk itu diperlukan investasi yang tak sedikit. Supaya jaringan kerja bisa beroperasi secara efektif dan efisien, maka perlu ada pewilayahan, paling tidak mulai dari tingkat kecamatan.

Dengan tumbuh dan berkembangnya koperasi, kondisi perekonomian nasional diharapkan makin sehat dan bergairah. Trilogi seperti pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan pun bisa benar-benar diwujudkan.

Sebelum mengupayakan terbentuknya jaringan kerja koperasi, alangkah baiknya terlebih dahulu dilakukan “penyehatan” masing-masing koperasi. Koperasi yang “kurang sehat” tak ada salahnya melakukan merger dengan koperasi yang “sehat”, sehingga kinerjanya bisa membaik. Dengan adanya jaringan kerja, koperasi yang “sehat” diharapkan “makin sehat”, sedangkan koperasi yang “kurang sehat” diharapkan menjadi “sehat”. Pada gilirannya koperasi yang sehat akan menimbulkan dampak langsung berupa “penyehatan” ekonomi nasional. (Atep Afia)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.