Oleh : Atep Afia Hidayat - Mendung
menyelimuti bangsa Indonesia, padahal sinar surya begitu didambakan. Namun
hari-demi hari hanya “pertentangan” , “perbedaan pendapat”, dan “rebutan
kepentingan” di antara komponen bangsa. Perilaku tak elok dipertontonkan elit
bangsa. Mereka yang merasa dan mengaku
sebagai tokoh bangsa, pimpinan nasional, wakil rakyat, atau apalah namanya
malah menunjukkan perilaku ke-kanak-kanakan.
Tak salah jika Gus Dur pernah
mengkritisi, perlaku sebagian elit bangsa itu tak ubahnya seperti anak TK. Ya,
begitulah adanya. Lupa kewajiban yang harus diemban, yang lebih diperhatikan
malah sesuatu yang bukan substansi dalam berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana isu koalisi yang makin
menghangat, begitu mencerminkan betapa tidak dewasanya elit bangsa ini. Para
pemimpin bangsa itu kini sedang asyik bermain dengan kursinya masing-masing,
sebagai dampaknya masalah yang dihadapi rakyat menjadi tidak diprioritaskan.
Padahal kalau mau dicermati,
siapapun yang berkoalisi, toh kinerja pemerintahan tidak akan banyak berubah. Hanya
begitu-begitu saja, karena kualitas kepemimpinan nasional yang memprihatinkan.
Sepanjang sejarah kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini, mungkin kondisi pemerintahan yang carut-marut baru terjadi
saat ini.
Akibat terlalu mementingkan
koalisi, maka kabinet banyak diisi oleh orang-orang yang kurang profesional dan tidak kompeten dibidangnya. Hal yang dipentingkan justru
tingkat ketokohan sang menteri di Parpol, tidak peduli apa latar belakangnya
dan kompetensinya.
Padahal pemerintah yang kuat harus
didukung oleh kabinet yang profesional dan mampu berbuat banyak untuk rakyat.
Kalau terlalu mengandalkan kepentingan koalisi, maka sang menteri lebih
memprioritaskan Parpol-nya. Selain itu sang menteri akan lebih tunduk pada
kepentingan dan pimpinan Parpolnya dibanding pada presiden.
Energi pemerintah banyak terkuras
oleh hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat. Padahal
pemerintah terbentuk mengacu pada “dari-oleh-untuk rakyat”. Bagaimanapun
pemerintah dibentuk melalui mekanisme demokrasi lewat Pemilu.
Suara mayoritas rakyat (lebih dari
60 persen) mengendaki Soesilo Bambang
Yudhono dan Boediono memimpin negeri dengan jumlah penduduk terbesar ke empat
di dunia ini. Dukungan lebih dari 60 persen rakyat seharusnya menjadi modal
dasar bagi SBY untuk membentuk kabinet.
Tentu saja yang harus menjadi
pertimbangan utama adalah profesionalisme, kompetensi dan kapabilitas seorang
calon menteri, dengan fokus kepentingan dan kesejahteraan rakyat. SBY bisa
dengan leluasa menyeleksi secara ketat siapa saja yang harus duduk di kabinet,
karena memang memiliki hak prerogatif untuk itu.
Akibat terlalu banyak pertimbangan
dan mungkin kurang percaya diri, sebagai akibatnya mandat lebih dari 60 persen
rakyat yang memiliki hak pilih, tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Yang
lebih dipilih justru mengakomodir kepentingan teman dan lawan politik. Koalisi
menjadi di atas segalanya, hal seperti keinginan untuk memberantas mafia pajak
melalui hak angket di DPR, dengan gampangnya “disulap” menjadi isu koalisi.
Lantas, apa gunanya koalisi jika
pengaruhnya tidak banyak terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dan
perbaikan tata kelola pemerintahan ? Siapapun yang berkoalisi, kalau yang
menduduki kabinet kurang kompeten hasil kerja pemerintahan akan tetap jalan
ditempat.
Bagaimanapun, Republik Indonesia
adalah negara yang besar, berpenduduk 237 juta jiwa, dengan kekayaan sumberdaya
alam yang berlimpah. Tentu saja sangat memerlukan pengelola negara dan bangsa
yang kuat, jujur dan adil, yaitu pemerintahan yang solid dan mengedepankan
kepentingan rakyat.
Bagi sebagian elit Parpol koalisi
tak ubahnya seperti “surga dunia”, tetapi bagi rakyat koalisi hanyalah “pepesan
kosong”. Kalau melihat kondisi seperti sekarang, mungkin lirik lagu “buat apa
susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunaya…” bisa diubah menjadi “buat apa koalisi, buat
apa koalisi, koalisi itu tak ada gunanya ……..! ” (Atep Afia)
@A26-sinta, tugas TA05
ReplyDeletebanyak pemimpin di negara indonesia yang dipilih berdasarkam koalisi parpol. contohnya sekarang pemilihan gubernur dki jakarta sekarang banyak parpol yang berlomba-lomba mealkukan koalisi agar nanti banyak dari anggota parpol tersebut banyak menduduki jabatan di kursi pemerintahan DKI jakarta.
Pazrin Salsabila @E01-Pazrin
ReplyDeleteBerkaca dewasa ini politik hanyalah alat untuk mencapai kekuasaan, didalamnya penuh dengan intrik yang tidak memasyarakat, elit politik memang mempunyai kekuasaan yang lebih ketimbang rakyat namun yang harus diingat tetaplah kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat, koalisi partai hanya untuk kepentingan individu atau kelompok tertetu saja, dan itu sam sekali tidak memikirkan rakyat didalamnya, sebagai bangsa yang penuh pegorbanan seharusnya revolusi bisa memberikan efek luas bukan sekedar pemerintahan tetapi mental dan cara berpikir para elit politik di Ibu Pertiwi ini.