Oleh : Atep Afia Hidayat - Awal
Desember 2010, Forbes Indonesia
mengungkapkan, bahwa 16 dari 40 konglomerat asal Indonesia berkiprah dalam
bisnis batu bara dan kelapa sawit. Sumber kekayaan konglomerat lainnya berasal
dari bisnis yang sudah digeluti bertahun-tahun sebelumnya, seperti farmasi,
rokok, dan lain-lain. Dua konglomerat terkaya di Indonesia ternyata kakak
beradik R. Budi dan Michael Hartono.
Gabungan
penghasilannya mencapai US$ 11 miliar, setara dengan Rp 100 triliun.
Yang menjadi pemasukan terbesar ialah dari Bank Central Asia (BCA) merupakan
bank swasta terbesar di Indonesia. Keduanya juga merupakan pemilik industri
rokok kretek Djarum, menggeluti bisnis
kelapa sawit, dan sebagainya.
Sementara konglomerat posisi kedua ditempati Susilo
Wonowidjojo, memiliki kekayaan US$ 8
miliar, setara dengan Rp 72 triliun. Susilo merupakan pemilik industri rokok
Gudang Garam, yang nilai sahamnya meningkat sepuluh kali lipat dalam dua tahun
terakhir.
Konglomerat selayaknya bersedia menyisihkan sebagian kecil
keuntungannya untuk investasi sumberdaya manusia (SDM). Didorong oleh rasa
tanggung jawab yang besar sebagai warga negara yang beruntung, bukan dilandasi
oleh sikap terpaksa karena adanya imbauan dari pemerintah.
Kualitas SDM Indonesia harus terus-menerus ditingkatkan
kearah yang lebih mapan. Apalagi memasuki era perdagangan bebas, kualitas SDM
Indonesia diharapkan benar-benar bisa berkompetisi.
SDM Indonesia harus mampu menjawab berbagai tantangan,
mengatasi berbagai kendala, hingga cita-cita bangsa bisa terwujud, kondisi
masyarakat adil makmur pun bisa terealisasi.
Bangsa Indonesia dihadapkan pada tingkat persaingan yang
semakin sengit, terutama sebagai dampak globalisasi diberbagai bidang. SDM
Indonesia harus mampu mengantisipasi keadaan, tak bisa berlarut dan terlena
dengan apa yang telah dicapai.
Bagaimanapun, dalam era globalisasi setiap bangsa
berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan demi kemajuan. Lengah sedikit saja,
sudah jelas akan tertinggal. Untuk itu investasi SDM perlu dipacu, kualitasnya
terus ditingkatkan, hingga kita benar-benar menjadi bangsa yang mandiri.
Kalau saat ini bangsa kita masih menerima bantuan dari
bangsa lainnya, maka pada suatu saat kondisi tersebut harus berbalik seratus
delapan puluh derajat, yakni menjadi bangsa pemberi bantuan. Untuk hal-hal
tertentu, sebenarnya bangsa kita pun mampu memberikan bantuan kepada bangsa
lainnya.
Namun alangkah baiknya jika posisi negara kita menjadi
“donor”, serta terbebas dari status “resipien”. Bagaimanapun, “tangan di atas”
adalah jauh lebih baik daripada “tangan di bawah”. Bangsa pemberi bantuan lebih
terhormat dari bangsa penerima bantuan.
Untuk tercapainya hal itu, setidaknya sumberdaya manusia
Indonesia harus benar-benar mandiri, mampu berpijak di atas kaki sendiri, tanpa
menopang pada kekuatan atau kemampuan bangsa lainnya.
Dalam pergaulan antar bangsa, diantara bangsa-bangsa memang
terjadi interaksi, ada proses saling memerlukan. Namun dalam hal ini, posisi
bangsa “yang diperlukan” adalah jauh lebih kuat daripada bangsa yang
“memerlukan”.
Di Negara kita memang ada kelompok masyarakat yang sangat
beruntung, antara lain memiliki posisi ekonomi yang sangat mapan. Usahanya
tumbuh pesat, bahkan mampu menembus jaringan internasional.
Hal tersebut jelas merupakan asset nasional, setidaknya
mampu mendongkrak citra bangsa ditengah-tengah pergaulan antar bangsa. Kemajuan
usaha kelompok masyarakat tersebut, tak lain berkat adanya iklim yang kondusif,
yang berhasil diwujudkan oleh berbagai kebijaksanaan pemerintah.
Sedangkan di sisi lainnya, masih banyak anggota masyarakat
yang “tertinggal” oleh derap pembangunan, kehidupannya masih serba pas-pasan.
Menurut data statistik, jumlah anggota masyarakat yang masih hidup di bawah
garis kemiskinan sekitar 32,02 juta jiwa (posisi Maret 2010). Untuk mengangkat
kehidupannya jelas diperlukan kepedulian sosial yang tinggi, terutama kalangan
masyarakat yang “beruntung”.
Mmasyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan
tersebut, juga merupakan asset bangsa, bagian bangsa Indonesia yang tidak
terpisahkan. Nah, melalui prinsip kemitraan sudah selayaknya ada
terobosan-terobosan khusus, yakni guna mengangkat kehidupan sebagian anggota
masyarakat tersebut. Setidaknya kualitas SDM kelompok masyarakat tersebut perlu
ditingkatkan. Untuk itu memang diperlukan investasi dalam jangka panjang,
setidaknya beberapa dekade.
Investasi SDM memang menjadi penentu bagi masa depan bangsa.
Bagaimanapun, kualitas SDM akan menentukan ketahanan nasional suatu bangsa. SDM
Indonesia secara kuantitas mencapai 237 juta jiwa, atau menempati peringkat
keempat di dunia, yaitu setelah RRC, India dan Amerika Serikat.
Setelah Indonesia peringkat berikutnya ialah Rusia,
Pakistan, Brazil dan Jepang. Jadi dari segi kuantitas SDM, bangsa Indonesia di
atas bangsa Jepang. Namun ternyata, bangsa jepang mampu memonopli perekonomian
dunia. Padahal dari segi sumberdaya alam (SDA) yang dimiliki pun tak seberapa
jika dibandingkan dengan yang kita miliki. Bagaimanapun, dalam hal SDA bangsa
Indonesia termasuk yang terkaya di dunia.
Untuk mengelola SDA yang berlimpah, tentu saja diperlukan
kualitas SDM yang memadai. Inilah yang menjadi “PR” untuk pembangunan jangka
panjang berikutnya, yakni bagaimana agar SDM Indonesia mampu memanfaatkan SDA
secara optimal, tentu saja dengan selalu memperhatikan kelestariannya. Bisa
saja pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas ekonomi terwujud, namun seolah
kurang bermakna jika kualitas SDA menjadi amburadul.
Pemerintah memang telah berupaya dalam meningkatkan kualitas
SDM. Dalam hal ini tentu saja diperlukan dukungan dari sektor swasta, terutama
swasta yang mapan atau yang dikenal dengan konglomerat. Sebagai warga negara
yang “beruntung” para konglomerat berkewajiban untuk membantu warga negara
lainnya yang “belum beruntung”.
Konglomerat merupakan asset nasional, sudah selayaknya
berupaya mengkader konglomerat-konglomerat muda. Tak lain agar kekuatan ekonomi
nasional serta bargaining position
bangsa bisa semakin meningkat.
Tak dapat dipungkiri, bahwa selama ini para konglomerat
telah berkiprah dalam upaya memajukan kecerdasn bangsa. Sebagai contoh,
beberapa yayasan di lingkungan konglomerat secara kontinu memberikan bea siswa
kepada mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta (PTN dan PTS).
Selain itu, ada juga konglomerat yang membiayai dan membuka
perguruan tinggi, tak lain agar kesempatan mengikuti jenjang pendidikan tinggi
semakin luas. Jika 40 konglomarat papan atas yang ada di Indonesia
“meng-ikhlas-kan” lima persen kekayaannya untuk investasi dibidang SDM, maka
puluhan universitas baru bisa didirikan, ratusan sekolah menengah kejuruan
(SMK) bisa dikembangkan.
Beberapa universitas yang sedang dikembangkan
konglomerat misalnya Universitas Bakri (http://www.bakrie.ac.id),
Universitas Ciputra (http://www.ciputra.ac.id),
dan sebagainya. Sedangkan pada dua atau tiga dekade sebelumnya telah didirikan
Universitas Sahid (http://usahid.ac.id) dan
Universitas Mercu Buana (http://www.mercubuana.ac.id).
Bagaimanapun, kemampuan PTN dalam menyerap mahasiswa baru
masih terbatas. Hal lain yang diharapkan, ialah adanya dana khusus dari para
konglomerat untuk membiayai studi putra-putri bangsa yang berprestasi dai
perguruan tinggi terkemuka di negara-negara maju.
Tak lain agar proses adopsi
ilmu pengetahuan dan teknologi bisa semakin lancar, selain itu agar inovasi ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek) di negara kita pun makin berkembang.
Dalam hal ini, sudah selayakya bangsa kita mampu menggagas
temuan-temuan baru, bukan melulu mengadopsi apa yang ditemukan di negara-negara
maju. Untuk itu perhatian terhadap riset dan pengembangan perlu ditingkatkan,
budaya meneliti perlu terus ditumbuhkan.
Nah, sudah selayaknya disediakan dana riset atau penelitian
yang mencukupi, dan hal tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
namun juga menjadi tanggung jawab swasta, termasuk konglomerat. Jika penguasaan
Iptek meningkat, toh konglomerat juga akan memetik hasilnya.
Nah, sudah selayaknya kiprah konglomerat terhadap investasi
SDM makin ditingkatkan. Tentu saja harus didorong oleh rasa tanggung jawab,
serta mengacu pada prinsip kemitraan. (Atep Afia)
Haelis Muslimah A.S - @B14-Haelis
ReplyDeletesaya setuju dengan artikel ini, apabila para konglomerat yang ada di Indonesia mau menginvestasikan sebagian hartanya untuk pengembangan SDM. hal ini diharapkan bisa membangun negara menjadi lebih baik lagi.salah satu cara mengolah dana tersebut adalah dalam bidang pendidikan. bukan hanya tentang belajar menghitung dan menghafal tetapi lebih ditekankan pada praktek, karena untuk berkembang kita perlu praktek bukan hanya teori saja. tetapi masalah yang timbul adalah dari dalam diri manusia itu sendiri. sifat kikir atau pelit mungkin masih meyelimuti hati para konglomerat alhasil mereka tidak ingin menginvestasikan dananya. Dalam hal negara yang bisa memberi, menurut saya perlu dipupuk dari moral masyarakatnya dahulu. karena kita tahu negara maju masyarakatnya malu apabila mendapat santunan dari pemerintah, sedangkan masyarakat Indonesia malah berebut untuk mendapatkan BLT.
Terimakasih
@C17-WASTIONO, Tugas TC05
ReplyDeleteMenurut saya memang perang konglomerat swasta sangat lah di butuhkan di dalam perkembangan Investasi SDM , di karenakan bangsa yang kuat dan besar di dukung oleh manusianya yang cerdas berkembang dan mengikuti arus teknologi zaman . Di mana peran para konlomerat ini sebagai asset negara orang yang beruntung sudah memang sepantasnya bersyukur terhadap bangsa indonesia dan menginfakkan sedikitnya 5% untuk biaya investasi SDM untuk mencerdaskan bangsa indonesia. Dari 40 konglomerat dan hanya 16 konglomerat yang telah terbukti dalam andil mencerdaskan bangsa memang di rasa jauh sangatlah kurang mengingat bangsa indonesia ini yang begitu besar dari sabang sampai merauke dari kuantitas yang menempati posisi ke 4 setelah cina, india dan USA di tahun 2010. Dari situlah sudah selayak layaknya sebagai asset bangsa yang beruntung untuk membantu donor ataupun investasi ke peningkatan SDM melalu kemitraan sekolah kejuruan SMK maupun PTS dan PTN toh dimana hasil dari yang telah meraka tanam ya akan menguntungkan mereka juga seperti yang bapak atep tuliskan . Demikian komentar saya memang selayaknya sebagai konglomerat warga beruntung setidaknya menginfakkan hartanya sedikit dikitnya 5% , trimaksih.