Oleh : Atep Afia Hidayat - Seekor kebo (kerbau) jalannya tertatih-tatih, tak tahu arah. Orang Sunda bilang rarampeolan. Kebo itu ternyata menyandang beban berat dipunggungnya,yaitu gembala dan serulingnya. Sang gembala dengan bobot lebih dari setengah kuintal, jelas merupakan “beban” yang amat berpengaruh terhadap konsisi fisik kebo. Serulingnya yang mendayu-dayu, ternyata tak sedap didengarnya. Membuat perasaan sang kebo menjadi ciut, pesimis, frustasi, nyali mengecil dan hampir putus asa.
Bunyi seruling memang indah, namun tidak memberikan semangat, bahkan mengerdilkan ambisi dan obsesi. Sehingga ada beban ganda yang disandang sang kebo, dua-duanya berat dan menekan, namun sang kebo tidak punya pilihan.
Ada jutaan kebo yang mengalami nasib serupa, bahkan ratusan juta manusia mengalami kondisi yang sama. Senada dan seirama dengan sang kebo, bahkan dengan beban yang jauh lebih berat. Ternyata sebagian dari beban itu hanyalah subyektif. Beban seperti ada padahal tidak ada, yang tampak namun sebenarnya tiada. Ratusan juta (atau milyar ???) manusia dihantui beban berat. Lantas apa saja beban yang subyektif itu ?
Seorang lelaki sedang berjalan dimalam hari yang hitam pekat, tiada berbintang. Jantungnya mulai berdebar kencang. Ada apa gerangan ? Ternyata tempat yang dilaluinya ialah kuburan tua yang dianggap angker. Hal itu membuat langkahnya menjadi sangat berat, seolah sedang menyeret berkarung-karung beban. Nah, itulah salah satu contoh beban yang subyektif.
Wahhh Pak G itu mengerikan, membuat orang merinding ketakutan sampai kedinginan. Kenapa dengan Pak G ini ? Ternyata modalnya hanya memasang tampang bengis, bicaranya kencang, tajam dan nyelekit. Kalau Pak G ngomong, suaranya selalu dikencangkan, mukanya dipasang “sadis”. Mungkin agar lawan bicaranya merasa kalah sebelum bertanding. Ya, bagi Pak G segala bentuk interaksi sosial dianggapnya sebagai game yang harus dimenangkan. Ternyata hampir setiap orang yang terpaksa berhadapan dengan Pak G, seolah menyandang beban. Padahal semua itu subyektif. Pak G manusia biasa juga, yang tak mungkin menerkam.
Lalu bagaimana upaya untuk mengatasi perasaan dan pikiran yang cenderung subyektif tersebut , sebagaimana contoh di atas, dan masih banyak contoh kasus lainnya. Langkah pertama, tentu saja harus memiliki kacamata obyektif, pikiran atau opini yang positif dan mental atau perasaan yang sehat. Jika sudah memiliki perangkat tersebut, tentu saja kondisi lingkungan yang mencekam dan orang yang menakutkan hanya dianggap sebagai dinamika kehidupan.
Orang berperangai buruk hanyalah orang yang berperilaku abnormal, a sosial atau sedang menyandang persoalan psikologis. Dia butuh pertolongan, bahkan terapi. Sikap dan perilaku menyimpangnya tidak perlu ditanggapi secara serius. Dalam hal ini, orang yang normal dan sehat tidak akan memilih bersikap frontal melawan orang yang abnormal dan kurang sehat.
Sikap bijak dalam menghadapi situasi dan persoalan yang subyektif, akan mempertahankan perasaan dan pikiran dalam kondisi yang stabil dan terbuka. Inilah pangkal kehidupan yang sehat, mengurai beragam persoalan dengan kacamata dan paradigma yang obyektif . (Atep Afia)
Memang diperlukan Mental yang kuat untuk menghadapi suatu cobaan hidup, orang yang bermental kuat selalu menganggap kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda.
ReplyDeleteterimakasih pak,sikap bijak dan kemampuan untuk memutuskan dengan baik sangat tepat dilakukan untuk menghadapi tujuan yang subjektif agar nanti kedepannya mendapatkan suatu manfaat yang berguna bagi kehidupan.
ReplyDeleteMenurut pendapat saya arti dari subjektif adalah tidak sebenarnya atau mengada-ngada. Sifat subjektif ini terdoktrin dari hati (perasaan kita) hingga sampai ke otak kita sehingga kita merasakan hal yang sangat berat untuk menjankan hidup. Sebaliknya, arti dari objektif adalah sebenarnya, sesungguhnya apabila kita selalu berfikir objektif sebenarnya hidup akan selalu ringan tanpa ada beban. Maka dari itu kita harus selalu berfikir objektif agar hidup terasa lebih ringan.
ReplyDeletedalam menghadapi setiap beban dan masalah di kehidupan kita,kita haruslah teguh untuk menghadapinya kita harus terus berjuang.
ReplyDeletebila kita sudak terbiasa menyelesaikan masalah kecil maka nantinya kita juga tidak takut untuk menghadapi beban seberat apapun.
Dalam hidup pasti ada beban, tapi bukan berarti hidup itu harus dianggap sebagai beban yang berat, hidup itu harus dijalani dan waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Beban/ masalah kehidupan bisa menjadi sulit atau mudah itu tergantung bagaimana kita menjalaninya dan mengatasinya. Jangan menganggap masalah kecil itu sepele, karna dari kecil itu bisa menyebar luas menjadi besar jika kita tidak sungguh-sungguh mengatasinya. Sesuai dengan artikel ini, berfikir objektif itu harus ada dalam pemikiran kita agar dalam mengatasi beban yang kita hadapi lebih mudah.
ReplyDeletemasalah dan beban kehidupan otu pasti dialami oleh setiap orang, namun semua itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. rasa takut, rasa kecil hati, semua itu sebenarnya hanyalah beban subyektif yang tidak ada jika kita mampu menghadapinya dengan jiwa obyektiff dan berfikir positif. manusia di bumi ini mempunyai derajat yang sama di mata Allah SWT jadi kita harus bisa membuang beban subyektif yang sebenarnya hanyalah godaan untuk memperlambat kita dalam menatap masa depan.
ReplyDelete@C03-ARIF
ReplyDeleteSemoga kita senantiasa menjadi manusia yang berpikiran obyektif, berpikir atau beropini yang positif dan mental atau perasaan yang sehat. amin..