Pages

KAA Media Group

Apr 21, 2013

Obat Tradisional Bukan Sekedar Alternatif

Oleh : Atep Afia Hidayat - Prinsip hidup kembali ke alam kini makin banyak diterapkan, termasuk dalam hal pengobatan atau dalam upaya menjaga kesehatan. Di sisi lainnya pengobatan modern dengan menggunakan obat berbahan aktif senyawa kimia bisa menimbulkan efek samping. Selain itu, harga obat-obatan tersebut oleh sebagian masyarakat dirasakan makin mahal.

Sejak krisis moneter tahun 1997 yang lalu, harga obat-obatan kimia yang sebagian besar berbahan baku asal impor, rata-rata mengalami kenaikan 400 persen. Meskipun kondisi saat ini nilai rupiah makin menguat, namun tampaknya harga obat-obatan kimia yang terlanjur tinggi sulit untuk mengalami penurunan. Dengan demikian obat-obatan berbahan baku tanaman obat atau obat tradisional akan menjadi pilihan yang manarik.

Impor Bahan Baku

Tanaman obat telah dimanfaatkan sebagai bahan baku jamu, sediaan ekstrak terstandar dan sediaan fitofarmaka. Tiga segmen obat tradisional tersebut dalam satu decade terakhir pemanfaatannya terus meningkat. Namun kalau ditelaah melalui wacana agrobisnis ternyata manfaat positif perkembangan obat tradisional baru dirasakan oleh sebagian kecil orang. Saat ini volume ekspor obat tradisional sekitar 1 juta kg, dengan nilai melampaui 9 juta dollar AS. Di dalam obat tradisional yang diekspor komponen bahan baku yang diimpor masih tinggi. Pelaku ekspor obat tradisional tersebut hanya beberapa perusahaan yang tergolong besar, sebagian di antaranya industri farmasi nasional terkemuka.

Sebagian simplisia (bahan alam yang telah dikeringkan berupa tanaman utuh, daun, buah, batang, akar dan ekstrak tanaman untuk bahan obat) masih diimpor dari luar negeri. Hal itu disebabkan kualitas sebagian bahan baku yang dihasilkan petani tanaman obat di Indonesia belum memenuhi standar mutu industri fitofarmaka. Dengan demikian, devisa yang diperoleh dari ekspor obat tradisional masih harus dikurangi oleh devisa yang dikeluarkan untuk impor bahan baku.

Padahal kalau dikembangkan secara serius dengan membentuk sinergi berbagai potensi seperti agroklimat dan plasma nuftah; petani, peneliti dan industriawan; serta pasar dalam dan luar negeri, maka prospek agribisnis tanaman obat akan terus membaik. Selain kebutuhan industri jamu dan fitofarmaka dalam negeri yang terus meningkat, permintaan pasar dunia terhadap bahan baku obat pun cenderung meningkat. Sebagai contoh, menurut catatan Tabloid Bisnis Kontan (Desember 2000), permintaan dunia untuk jahe mencapai 30 ribu ton per tahun, cabe jawa 600 ribu ton per tahun. Selain itu, Cina memerlukan kapulaga 400 ton per bulan.

Perlu Sinergi

Berdasarkan potensi agroklimat dan plasma nuftah yang dimiliki, sebenarnya Indonesia layak menjadi negara produsen obat-obatan berbahan baku tanaman obat terbesar di dunia. Memproduksi bahan baku sebenarnya bukan merupakan persoalan yang sulit, selain tersedia lahan yang masih luas, Indonesia pun memiliki petani terbanyak di dunia. Mengenai aspek budidaya sampai pasca panen teknologinya sudah dimiliki. Meskipun pengembangan Iptek obat tradisional masih tertinggal dengan apa yang sudah dikembangkan negara-negara industri maju.

Kendala utama dalam pengembangan tanaman obat ialah permintaan lebih cepat dari produksi, harga komoditas dalam negeri tidak merangsang petani untuk berproduksi, harga input mengalami kenaikan, kredit terbatas, dan insentif petani sangat rendah. Di sisi lainnya komunikasi antara pusat penelitian dan pengembangan (Balitro, BPTP, universitas/institut) dengan petani atau pelaku agribisnis kurang intensif.

Tak kurang dari Menteri Pertanian, Bungaran Saragih, menyatakan bahwa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) diimbau mengintensifkan sinergi dengan pengusaha agribisnis (termasuk petani, pen) guna mengaplikasikan paket teknologi yang dihasilkan lembaga tersebut. BPTP memiliki peluang cukup besar guna memenuhi kebutuhan sarana produksi pertanian serta peralatan pasca panen sesuai potensi agribisnis di setiap daerah (Bisnis Indonesia, 5 Juni 2003).

Untuk mengembangkan tanaman obat perlu kerjasama berbagai pihak. Dalam hal ini Departemen Kesehatan telah membentuk Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T) di 12 propinsi. Sedangkan di beberapa PTN seperti ITB, UGM dan Unibraw telah dikembangkan Pusat Penelitian Obat Tradisional (PPOT). Sejak tahun 2002 UGM telah membuka program diploma ahli jamu, selain itu beberapa rumah sakit juga sudah membuka Klinik Obat Tradisional.

Mulai dari proses produksi bahan baku yang dilakukan oleh petani, pengolahan oleh industri (kecil, menengah, dan besar), pengujian oleh peneliti, sampai proses pemasaran dalam dan luar negeri, perlu disinergikan sedemikian rupa, sehingga terbentuk system agribisnis yang memiliki daya saing di seluruh sub system. Posisi petani sebagai salah satu pemain agribisnisnya daya tawarnya harus benar-benar sejajar dengan pemain lainnya.

Penutup

Kesadaran terhadap kekayaan sumberdaya alam dan warisan leluhur datang agak terlambat. Padahal tanaman obat atau obat tradisional sudah dikenal dalam peradaban masa lalu, bahkan masih dipertahankan oleh sebagian kecil masyarakat dan tercatat dalam berbagai naskah kuno, terutama yang masih ada di keraton-keraton. Penggunaan temulawak untuk pengobatan misalnya, sebelumnya hanya dipandang sebelah mata.

Temulawak hanya akrab dengan masyarakat di pedesaan, atau hanya sebagai bumbu dalam beragam masakan. Setelah seorang ilmuwan Jerman berhasil mengidentifikasi senyawa curcumin dari ekstrak temulawak, yang ternyata berkhasiat untuk meredam penyakit hepatitis, maka posisi temulawak pun segera naik daun. Kasus serupa terjadi untuk tanaman obat seperti bawang putih, mengkudu, daun dewa, benalu tehh, dan sebagainya.

Berbagai jenis tanaman obat sudah dimanfaatkan sejak berabad-abad yang lalu, tersebar di seluruh suku yang ada di Indonesia. Namun yang membuktikan khasiatnya secara empiris atau ilmiah adalah ilmuwan di negara-negara maju. Tidak heran jika ada ilmuwan Jepang yang berusaha memperoleh hak paten dari berbagai tanaman obat yang ada di Indonesia.

Bangsa Indonesia ternyata memiliki metode pengobatan tersendiri, yang selama ini dikenal sebagai pengobatan tradisional atau pengobatan yang bukan berasal dari kedokteran barat yang biasanya dikatagorikan sebagai pengobatan modern. Pengobatan tradisional Indonesia bisa berkembang pesat sebagaimana di Cina, terutama jika didukung oleh kebijakan pemerintah dan diakui sebagai mitra sejajar oleh kalangan medis. Jika kondisi tersebut sudah terwujud, maka prospek obat tradisional pun makin cerah. (Atep Afia )

4 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. fajar ari utomo @C29-FAJAR
    Kode Tugas : Tugas TC05

    benar sekali pak, dari berbagai survei memang segala hal yang alami pasti lebih baik dan tanpa efek samping.

    kurangnya perhatian pemerintah terhadap petani sangatlah disayangkan, karena pertanian indonesia sangatlah berprospek bagus jika didukung dan diutamakan, mengingat indonesia sangatlah luas dan subur.

    ReplyDelete
  3. Rahthino Giovanni10/07/2016 8:31 PM

    Rahthino Giovanni @B26-RAHTHINO
    Kode Tugas: @B26-RAHTHINO

    Sudah menjadi rahasia umum bahwa obat kimia yang beredar memiliki efek samping jika tidak sesuai dengan resep dokter. Hal ini sangat berkebalikan dengan obat herbal yang relatif lebih aman. Indonesia memiliki ragam tanaman herbal yang sangat banyak. Ini adalah sebuah potensi besar jika pemerintah Indonesia dapat memanfaatkannya dengan baik.

    ReplyDelete
  4. Gilang Pratama : @E26-gilang, @Tugas B06

    sudah tidak bisa dipungkiri bahwa obt-obtn tradisional sudah lama digunakan dan terbukti khasiatnya untuk menyembuhkan orang sakit.

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.