Oleh : Atep Afia Hidayat - Ketergantungan dunia usaha (sector riil) terhadap sektor
perbankan tampaknya semakin tinggi. Usaha apapun, baik dalam bidang industri,
perdagangan, jasa, konstruksi, pertambangan, pertanian, dan sebagainya amat
tergantung pada pembiayaan dari bank.
Berbagai proyek investasi dalam lingkup dan skala apapun
sering menggunakan dana perbankan, yakni dalam bentuk kredit atau pinjaman.
Sudah tentu berbagai usaha atau investasi tersebut harus memberikan keuntungan
yang memadai, paling tidak dapat menutupi biaya produksi dan membayar pinjaman
bank dan bunganya.
Di sinilah manajemen berperan. Manajemen tak lain merupakan seni, mengupayakan agar
berbagai faktor produksi dapat terintegrasi secara terpadu, hingga menghasilkan
nilai tambah yang optimal. Nilai tambah tersebut bisa diukur dengan besarnya Return
On Equity (ROE), yakni menggambarkan berapa besarnya keuntungan yang bisa
diperoleh untuk setiap uang (rupiah/dolar) yang ditanamkan.
Bank selaku kreditur atau pembiaya, cenderung hanya memilih
perusahaan yang memiliki ROE yang cukup tinggi. Sebab, jika tingkat keuntungan
usaha masih di bawah tingkat suku bunga deposito, bisa dikatakan bahwa usaha
itu relatif kurang menguntungkan.
Para pemilik modal akan berpikir-pikir dulu sebelum membeli
saham perusahaan, sebab suku bunga deposito relatif lebih tinggi dari ROE.
Demikian juga dengan perbankan, melalui analisis kredit akan mencoba mengukur,
membandingkan dan memperhitungkan tingkat keuntungan (feasibility study)
dari sebuah usaha.
Berdasarkan fakta di atas, sudah tentu tingkat suku bunga
yang tinggi sebenarnya kurang dikehendaki oleh dunia usaha. Karena secara
langsung menuntut tingkat ROE yang tinggi, berarti perusahaan harus benar-benar
meningkatkan produktivitas dan efisiensinya.
Sepanjang tingkat suku bunga itu masih logis, sebenarnya
dunia usaha terkena dampak positif, yakni senantiasa meningkatkan
produktivitasnya dan efisiensinya. Tetapi jika tingkat suku bunga itu sudah tak
logis lagi, hanya akan menimbulkan kepenatan dan frustasi bagi para pengusaha.
Nah, tingkat keuntungan usaha yang tinggi sebagai besar justru harus diserahkan
pada bank untuk membayar utang ditambah bunga. Sedangkan kesempatan untuk
menikmati hasil dan melakukan reinvestasi relatif kecil. Dengan kata lain,
menjalankan usaha hanya untuk membayar suku bunga kredit yang menggunung. Sudah
jelas, kondisi tersebut sama sekali tak menyehatkan iklim berusaha.
Selain masalah suku bunga yang tinggi, hal lainnya yang
menyebabkan terhambatnya dunia usaha ialah persoalan mengenai agunan. Terutama
bagi usaha skala menengah ke bawah, agunan seolah menjadi bumerang.
Sudah tentu, sebagian besar pelaku usaha kecil tidak
memiliki agunan. Padahal, salah satu syarat utama untuk memperoleh kredit
perbankan, yakni adanya barang yang dijaminkan (agunan), umpamanya sertifikat
hak milik (tanah, bangunan, atau yang lainnya).
Dengan adanya aturan mengenai agunan ini, usaha besar yang
relatif memiliki modal yang kuat (cadangan agunanya besar), bisa menikmati
kredit perbankan dengan mudah. Bahkan, untuk perusahaan-perusahaan yang dikenal
bonafide, agunan seolah bukan menjadi
persyaratan. Hal itu tak lain karena tingkat keuntungan usaha (ROE) yang cukup
tinggi, hingga perbankan seolah tak khawatir dana yang disalurkan akan macet.
Padahal, kredit macet terjadi dalam semua skala usaha, baik kecil, menengah,
besar atau raksasa.
Hanya sektor usaha yang benar-benar “sehat” saja yang mampu
mengembalikan kredit sesuai jadwal. Jadi persoalannya, bagaimana agar sektor
usaha benar-benar sehat. Dalam hal ini tidak selalu tergantung pada besar skala
usaha. Usaha kecil yang sehat lebih berhak atas kredit perbankan daripada usaha
besar yang “sakit”.
Supaya agunan tidak lagi menjadi syarat mutlak, maka sangat
diperlukan kepiawaian tenaga perbankan (analisis kredit) dalam menilai
kelayakan usaha, yakni melalui proposal.
Selain itu, diperlukan kecermatan dalam menilai siapa pelaku
usahanya, apakah secara keseluruhan bisa dikatakan bonafide. Dalam hal ini, bonafide
tidak hanya ditentukan oleh besarnya modal atau agunan yang dimiliki, tetapi
bagaimana kapasitas sumber daya atau potensinya.
Apakah memiliki prospek dan wawasan yang jelas dan konkret
dalam dunia usaha, atau hanya sekedar mencoba-coba, tak begitu serius. Sekali
lagi, dalam hal ini hendaknya pihak perbankan tidak bersikap apriori terhadap
kemampuan pengusaha skala kecil.
Perbankan merupakan lembaga keuangan yang berorientasi
profit, senantiasa menghindari hal-hal yang akan menyebabkan terjadinya kredit
macet. Bagaimanapun, perbankan bertanggung-jawab langsung kepada para pemilik
dana, terutama para nasabah, deposan atau masyarakat luas.
Pada dasarnya antara sektor perbankan dan dunia usaha
terjadi simbiosis mutualisme, simbiosis yang saling menguntungkan. Dunia usaha
tumbuh dan berkembang tak lain karena kontribusi perbankan.
Demikian pula sebaliknya, volume usaha bank membengkak, tak
lain karena adanya aktivitas dunia usaha. Simbiosis itu bisa terus meluas dan
makin berkembang, mencakup semua skala usaha, mengikutsertakan seluruh bank,
baik bank yang kecil maupun besar, milik pemerintah atau swasta.
Penyaluran kredit bisa benar-benar diefektifkan dan
dioptimalkan. Sudah selayaknya, tidak ada lagi “uang tidur”, tetapi
terus-meneus berputar mengongkosi sektor riil. Dalam hal ini, tentu saja dibutuhkan
sistem manajemen perbankan dan dunia usaha yang benar-benar mantap dan stabil.
@E32-Theo, @Tugas B05
ReplyDeleteAdanya peluang dan kesempatan yang besar di dalam dunia usaha membuat banyak pengusaha baru yang muncul dimana hampir semua pengusaha membutuhkan suntikan dana baik kecil maupun besar, salah satunya melalui pinjaman dari bank, keterkaitan tersebut menguntungkan dua belah pihak mulai dalam hal keuntungan, terciptanya lowongan pekerjaan dan ekspansi bisnis yang lebih luas. Walaupun tetap ada hal negatifnya di masing-masing pihak,dari pihak bank yaitu bunga yang makin besar, dan dari pihak pengusaha untuk pengembalian dana usaha yang dipinjam terlambat.
Angga Artha S, 44217010064, KWU Senin
ReplyDeleteSulitnya faktor yang mempengaruhi pinjaman dana dari bank kepada usaha kecil, terlebih jika persyaratan & usaha yang baru dirilis tersebut belum mendapatkan keuntungan yang signifikan. Peraturan ini seharusnya dihapus agar bukan hanya pengusaha tingat menengah saja yang bisa mendapatkan benefit tersebut, tetapi pengusaha kecil yang usahanya ingin berkembang dari pinjaman dana bank harus juga merasakannya, agar terciptanya keseimbangan ekonomi.