Oleh : Atep Afia Hidayat – Pemilihan
Umum (Pemilu) 2014 memang relatif masih lama, namun para politisi jauh-jauh
hari sudah membuat prediksi dan strategi yang akan dijalankannya. Bagi politisi
yang sudah mendapat kursi empuk di parlemen atau kabiner, tentu muncul
keinginan untuk meraih kembali kursi empuk tersebut.
Bagi politisi yang belum pernah
mengenyam betapa nikmatnya kursi Senayan, tentu obsesinya makin menggebu-gebu.
Apalagi dengan adanya rencana pembangunan gedung DPR yang baru dengan fasilitas
yang jauh lebih wahhh, maka makin terbayang bagaimana dirinya bisa menduduki
salah satu kursi dewan dan salah satu ruangan kerja dengan perlengkapan
mutakhir, ditambah staf ahli dan sekretaris pribadi. Kalau gaji dan beragam
tunjangan sudah pasti menjadi mimpi indah selama ini.
Politisi kutu loncat sudah
jauh-jauh hari berlompatan dengan tujuan Partai Politik (Parpol) yang
diperkirakan bakal meraih suara terbanyak dan menjadi partai pemegang
kekuasaan. Ada satu Parpol yang banyak dihinggapi politisi kutu loncat. Namun
jangan terlalu optimis, Parpol tersebut bukan partai kader tetapi partai yang
bergantung pada ketokohan seseorang.
Pada Pemilu 2014 sang tokoh tidak bisa
mencalonkan diri lagi menjadi RI 1 karena sudah dua kali menduduki jabatan yang
sama. Sama seperti Parpol lain yang tergantung pada ketokohan seseorang, ketika
sang tokoh lengser maka melorot pula perolehan suara Parpol tersebut.
Waspada ! Bagi para politisi kutu
loncat jangan mudah loncat, jangan gampang pindah ke lain hati. Siapa tahu
Parpol yang diusung sekarang malah nanti akan menjadi pemenang Pemilu. Politisi
kutu loncat memang berpikir dan bersikap begitu pragmatis.
Persoalan idealisme
Parpol yang diusung tidak begitu dipentingkannya. Toh setiap Parpol adalah
kendaraan untuk mencapai tujuan, kendaraan paling cepat, paling besar dan paling mewah tentu lebih
menjanjikan dibanding kendaraan yang lamban, kecil dan gurem.
Memang ada politisi kutu loncat
yang mengutarakan alasan ideal kenapa dirinya pindah Parpol. Menurutnya dengan
Parpol yang lebih besar dan berkinerja lebih baik, maka perjuangannya untuk
memperbaiki kesejahteraan rakyat berpeluang lebih dapat direalisasikan.
Bagaimanapun mesin Parpol yang besar bergerak lebih jauh, jangkauannya bisa lebih
luas.
Hal itu syah-syah saja, namun harus diingat bahwa politisi sebuah Parpol,
kemudian masuk ke Parlemen adalah karena dukungan konstituen-nya dari daerah
pemilihan (Dapil) tertentu. Dengan kepindahannya ke Parpol lain maka
konstituennya pun ditinggalkan secara mendadak. Lantas, di mana letak hubungan
yang harmonis antara politisi dengan rakyat pendukungnya, kalau dengan
seenaknya sang politisi meninggalkannya.
Politisi kutu loncat memang
bergerak begitu dinamis, sangat sensitif terhadap peluang sekecil apapun.
Perhitungan dan nalar politiknya begitu dinamis, tidak pernah statis. Begitu
ada peluang hupp lalu ditangkap (bagaikan cicak-cicak di dinding yang getol
menangkapi nyamuk yang melintas). Lantas, kira-kira pada Pemilu 2014 Parpol
mana yang paling bersinar, apakah PD, PG, PDIP, PKS, PPP, PAN, PKB, Hanura,
Gerindra, atau Parpol lainnya ?
Mengacu pada dua kali Pemilu era
reformasi, maka sulit diperoleh satu Parpol yang meraih suara di atas 50
persen. Dalam dua kali Pemilu suara maksimal yang diraih hanya 20 – 25 persen.
Dengan besaran suara seperti itu tidak mudah membentuk pemerintahan yang kuat,
bersih dan berwibawa, meskipun dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) ada kandidat
yang meraih suara di atas 50 persen, bahkan melebihi 60 persen.
Bagaimanapun Presiden terpilih
harus mendapat dukungan mayoritas parlemen. Kalaupun ada koalisi seperti saat
ini, yang terbentuk bukan koalisi penuh, namun hanya koalisi setengah hati.
Upaya membentuk koalisi permanen memang sangat tidak mudah, karena selalu ada
benturan atau konflik kepentingan.
Nah, munculnya Parpol yang meraih suara
melebihi 50 persen, sangat diperlukan untuk membentuk pemerintahan yang bisa
optimal dalam mengelola rakyat dan Negara. Contoh kasus di Amerika Serikat,
sebagai biangnya Negara demokrasi, sudah pasti dalam setiap Pemilu ada Parpol
yang meraih suara di atas 50 persen, sehingga pemerintahan yang terbentuk bisa
lebih kredibel dan kapabel.
Salah satu kuncinya ternyata
peserta Pemilu hanya dua Parpol, yaitu Demokrat dan Republik. Nah, hal tersebut
seharusnya menjadi bahan pembelajaran bagi proses demokrasi di Indonesia.
Ternyata makin banyak Parpol peserta Pemilu peluang terbentuknya pemerintah
yang kuat, bersih dan berwibaha justru makin kecil. Para politisi kutu loncat
tentu memahami sekali hal itu.
Nah, lantas muncul semacam “ide gila”. Bagaimana
jika seluruh politisi berloncatan dan hinggap hanya di dua Parpol saja,
sehingga peserta Pemilu 2014 cukup dua Parpol. Parpol yang mana ya terserah,
yang penting memiliki idealisme yang kuat untuk mempertahankan, memajukan dan
makin menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yuk mulai
berloncatan ! (Atep Afia)
@A26-sinta, tugasTA05
ReplyDeletekarena sekarang makin banyaknya parpol jaadi semkain banyak pula politisi yang menjadi kutu loncat. dimana dia merasa ada peluang untuk menang disitulah dia akan meloncat. dai sebenarnya hanya mementingkan pribadi bukan kepentingsn negaranya. bila parpol yang dia usung menang dia akan mendapat kesempatan untuk duduk dikursi pemerintahan. itulah sebabnya para politisi jaman sekarang banyak yang menjadi politisi kutu loncat.
Pazrin Salsabila @E01-Pazrin
ReplyDeleteYa inilah Indonesia, negara dengan banyak intrik politik, politisi sekarang memandang bahwa politik itu sumber mencari kekuasaan, dan berujung dengan namanya uang. Segala sesuatu dibutakan oleh kekuasaan dan uang, maka disinilah orang yang mengaku politisi menggunakan kutu loncat parpol untuk mendapatkan tempat atau kekuasaan yang lebih ketimbang parpol sebelumnya.