Oleh : Atep Afia Hidayat - Kota Rio de Janeiro di Brasil mencatat sejarah
penting, karena pernah menyelenggarakan KTT Bumi yang dihadiri oleh
utusan-utusan dari 165 negara, pada bulan Juni 1992, atau hampir 19 tahun yang
lalu. Dari berbagai perundingan dan persidangan, dihasilkan berbagai konvensi
menyangkut lingkungan hidup. Sebagian besar negara ikut menandatangani untuk
segera diratifikasi di negara masing-masing.
Namun ternyata ada juga negara yang
terang-terangan menolak salah satu konvensi, misalnya Amerika Serikat dengan
tegas menolak penandatanganan konvensi mengenai keanekaragaman hayati
(convention on biodiversity). Sikap AS yang sangat disayangkan oleh berbagai
pihak hanyalah untuk membela kepentingan ekonominya yang antara lain tergantung
pada industri bioteknologi.
Dalam perundingan tingkat internasional
peranan AS begitu eksis dan dominan, terlebih setelah bubarnya Uni Soviet
menjadi sebelas repubik, praktis tak ada lagi negara yang mampu menyaingi
dominasi AS.
Begitu pula dalam KTT Bumi tersebut, sikap
lunak AS sangat diperlukan. Namun ternyata sikap AS jauh dari apa yang
diharapkan, tak heran jika citra AS sebagai “pemimpin dunia” langsung melorot.
Kenyataannya AS lebih mementingkan persoalan lokal daripada persoalan global.
Kepentingan global diabaikan hanya karena kekhawatiran akan merosotnya
perkembangan ekonomi lokal.
Jika sikap AS mengecewakan negara-negara
lainnya, ternyata siikap Jepang tidaklah demikian. Dalam pertemuan tersebut
delegasi Jepang mengumumkan akan memberikan bantuan dana sebesar 7,7 miliar
dollar AS untuk kepentingan lingkungan dan pembangunan di Negara-negara sedang
berkembang. Jepang selama ini merupakan salah satu negara yang “merusak”
lingkungan global. Selain produksi emisi karbonnya yang cukup besar, juga
merupakan konsumen kayu tropis nomor satu. Memang sudah sewajarnya Jepang
berpartisipasi aktif dalam program pemeliharaan lingkungan global.
Tahun 1990 tim penasehat urusan hutan tropis
yang diketuai oleh mantan Menlu Saburo Okita, berhasil mengajukan proposal
Global Green Conservation yang berjangka sepuluh tahun. Proposal tersebut
mencangkup tiga jenis aksi yang perlu di tempuh Pemerintah Jepang. Pertama
memulihkan kembali kondisi hutan tropis yang terlanjur rusak, Kedua membantu
Negara penghasil kayu tropis agar mengusahakan hutan tanpa merusak, Ketiga
menjaga agar keragaman spesies pepohonan hutan tropis tidak menyusut.
Sikap Negara-negara industri maju lainnya
ternyata cukup melegakan, yaitu dengan adanya kesediaan untuk memberikan
bantuan sekitar 7 persen dari GDP-nya untuk kegiatan pembangunan dan lingkungan
di negara-negara sedang berkembang.
Untuk mengendalikan degredasi kualitas
lingkungan planet bumi diperlukan adanya kemitraan global (global partnership).
Kerusakan lingkungan di negara-negara sedang berkembang memang erat kaitannya
dengan tingkat kesejahteraan penduduk yang belum begitu baik. Dengan demikian
salah satu langkah untuk memelihara lingkungan ialah dengan memberantas
kemiskinan. Selain itu, langkah-langkah seperti perbaikan system ekonomi dan
perdagangan internasional, serta menurunkan tingkat konsumsi sumberdaya alam,
juga amat menunjang.
Kota Rio de Jeneiro yang sempat menghangat
karena menjadi focus of interest, kondisinya kembali seperti semula, berbagai
pesan dan kesepakatan yang dihasilkan tidak lantas menjadi “dingin” dan
“terpendam”.
Bagaimanapun KTT bumi perlu diikuti berbagai
action, jangan sekedar menjadi arena adu slogan dan hal-hal yang bersifat
lips-service. KTT bumi merupakan langkah awal untuk secara bersama-sama
mengamankan kondisi planet bumi.
Dalam hal ini patut di garis bawahi salah satu
bagian pidato Presiden Soeharto dalam sidang pleno KTT bumi tahun 1992, yang
menyebutkan bahwa kelangsungan hidup bumi memerlukan upaya global, karena semua
negara, tanpa kecuali terancam malapetaka lingkungan. Selanjutnya Presiden
Soeharto menyatakan, bahwa negara industri maju tetap bersikeras memaksa
syarat-syaratnya, meski kenyataan menunjukkan bahwa pola konsumsi mereka
berlipat, lebih boros dan lebih banyak membuang limbah dari pada negara
berkembang.
Penduduk negara-negara industri maju rata-rata
mengkonsumsi sumberdaya alam sekitar 40 kali lipat tingkat konsumsi penduduk
negara-negara sedang berkembang. Konsumen terbesar kayu tropis adalah
negara-negara industrii maju. Begitu pula yang mengkonsumsi bahan bakar fosil
(minyak bumi, gas dan batubara), yaitu sekita 70 persen dari konsumsi dunia.
Selama ini negara-negara sedang berkembang
hanya dijadikan “kambing hitam” berbagai kerusakan lingkungan. Padahal yang
rakus dalam mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan tersebut, tak lain
negara-negara maju, dan sudah dilakukannya sejak ratusan tahun yang lalu.
Negara-negara industri maju sudah “kenyang”
dalam mengkonsumsi sumberdaya alam, sudah selayaknya bisa memikul tanggung
jawab yang lebih besar terhadap upaya pemeliharaan dan perbaikan kualitas
lingkungan. Negara-negara industri maju memiliki dana, teknologi dan
kelembagaan yang cukup memadai.
Sidang-sidang dalam KTT bumi yang berlangsung
hamper 19 tahun yang lalu tersebut, diwarnai perdebatan yang sengit, terutama
antara delegasi negara-negara sedang berkembang dan delegasi negara-negara
industri maju.
Perdebatan yang memakan waktu ratusan jam itu,
menghasilkan kesepakatan yang dihimpun dalam Agenda 21, yang diharapkan
diwujudkan masing-masing negara.
Agenda 21 mencangkup Principles of Forestry
(Prinsip-prinsip Kehutanan), yang berkaitan erat dengan kepentingan negara
kita. Dalam KTT bumi, hutan tropis banyak dibicarakan, karena fungsinya sebagai
“paru-paru” bumi. Untuk merealisasikan berbagai program yang tercantum dalam
Agenda 21, diperlukan dana yang harus tersedia secara konstan. Sewajarnya
negara-negara industri maju memprakarsai pengumpulan dana lingkungan global
tersebut.
Kini, hamper 19 tahun kemudian, kerusakan
hutan tropis nyaris tak terkendali, kondisi lingkungan hidup semakin merana,
dan bumi pun makin tak nyaman. Apakabar Rio de Janeiro, apakabar KTT Bumi ?
(Atep Afia).
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebenernya AS dan juga negara maju lainnya mempunyai sumbangsih yang besar dalam kerusakan di Bumi ini jauh sebelum yang dilakukan oleh negara berkembang. Melihat sikap AS dan juga hasil dari KTT Bumi sekarang ini nampaknya mereka yang mempunyai andil tersebut terlihat tidak serius menanggapi ancaman kerusakan Bumi, sungguh disayangkan
ReplyDeleteDuhhh, makin kesian yaa bumi ini pak.
ReplyDeleteMakin tua, makin kering....
Indonesia yg katanya "paru-paru dunia"
Tapi ko loyo ya pak.... sperti g ada kekuatan mngendalikan.
Malahan sekarang indonesia mngidap sakit paru", alias utannya banyak yg bolong disulap jadi kebon kelapa sawit...
Sy turut prihatin pak.
Amerika Serikat dengan tegas menolak penandatanganan konvensi mengenai keanekaragaman hayati (convention on biodiversity) mungkin karena takut kondisi finansial negara tersebut menjadi menurun yang mengakibatkan dampak krisis ekonomi, karena jika Amerika Serikat menandatangani perjanjian tersebut maka Amerika Serikat harus mengurangi laju produksi secara massal untuk mengurangi kerusakan keanekaragaman hayati, yang dapat meyebabkan melemahnya pendapatan negara, belum lagi Amerika Serikat sebagai negara maju setidaknya mengeluarkan dana untuk memberikan bantuan sekitar 7 persen dari GDP-nya untuk kegiatan pembangunan dan lingkungan di negara-negara sedang berkembang.
ReplyDeletesangat di sayang kan kenapa negara berkembang selalu di jadi kan kambing hitam dalam persoalan dalam kerusakan lingkungan?
ReplyDeletetidak kah mereka mengintropeksi negara mereka negara" maju slalu bertindak semena. seperti amerika yg teranga"an menolak penandatanganan konvensi mengenai keanekaragaman hayati (convention on biodiversity). dan jepang adalah salah satu negara yg merusak lingkugan global.
dan yg sangat di sayng kan lagi adalah sumber daya manusia yg ada di indonesia.
sebagai mana yg kita tau bahwa indonesia berperan penting dalam penghijauan global.
krn indonesia sbgai paru" bumi ini.
seharus nya kita para masyarat indonesia bersama sama menjaga hutan tropis kita agar bisa saama" menyelamat kan bumi ini.
bkn malah merusak nya,,,,,,!!!!!!!!!!!
terima kasih.......
@E19-Samsul @Tugas B05
ReplyDeleteSemakin tua umur bumi harusnya semakin di perhatikan kondisi kesehatannya, negara yang maju dan mampu harus bisa membiayayi sejumlah kerusakan yang telah terjadi, baik di negaranya maupun di negara yang di jadikan paru paru dunia, karena bukan hanya segelintir orang yang terkena dampak dari rusaknya bumi, namun setiap negara dan setiap orang yang tinggal di bumi lah yang akan merasakan dampaknya, terlebih lagi anak cucu kita akan tedampak lebih parah dari kondisi kita sekarang ini.
Seluruh negara harus memegang peranan penting baik secara pendanaan maupun secara aksi nyata. Tidak hanya di titik beratkan pada negara tertentu saja.
@M27-AGUNG (Agung Widiantoro)
ReplyDeleteSikap Amerika serikat terhadap keputusan KTT Bumi di Rio de jainero ini sangat tidak bisa baik, menyandang status sebagai negara adidaya atau powerfull dengan respon tegas menolak penandatanganan konvensi mengenai keanekaragaman hayati (convention on biodiversity). Apakah sebagai ini layak disebut sebagai negara yang maju? Apakah sikap yang diambil Amerika serikat ini sudah layak untuk diterima oleh negara negara lain yang notabene kesejahteraan nya jauh tidak lebih bagus dari pada negara Amerika serikat. Kita harus banyak berkaca atau berterima kasih pada negara Jepang yang melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh negara maju yaitu dengan memberi bantuan dana sebesar 7,7 miliar dollar AS untuk kepentingan lingkungan dan pembangunan di Negara-negara sedang berkembang. Dan melihat kondisi sekarang ini yang tidak sesuai dengan target dari konferensi KTT Bumi tersebut. Kondisi bumi yang semakin panas ini bisa adalah akibat dari hutan tropis yang semakin berkurang kesejahteraan dan keasliaannya.