Payung hukum Pilkada ialah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan daerah, yang menyebutkan bahwa kepala daerah dipilih
secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini peserta Pilkada adalah pasangan
calon (kepala dan wakil kepala daerah) yang diusulkan oleh partai politik
(Parpol) atau gabungan Parpol. Dalam perkembangannya melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008, peserta Pilkada
juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah
orang (calon independen).
Pilkada menimbulkan hingar bingar silih berganti di 34
provinsi, 409 kabupaten dan 93 kota di Indonesia. Sebagian besar Pilkada memang
berlangsung secara tertib tanpa menimbulkan kegaduhan politik, sosial dan
keamanan. Namun tak jarang Pilkada menimbulkan keributan, gugatan, bahkan
konflik yang berujung ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di sisi lainnya tidak semua
keputusan MK bisa dipatuhi secara baik, bahkan ada yang disikapi dengan
kerusuhan termasuk aksi pembakaran.
Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah yang mengutip data
dari Kementerian Dalam negeri (Kemendagri) dalam Kompas, 10 Juni 2013, bahwa
mulai tahun 2005 sampai awal Juni 2013, terdapat 25 kasus kerusuhan terkait
Pilkada yang tersebar di 10 provinsi, 10 kerusuhan terjadi di Provinsi
Nusatenggara Barat. Sementara jumlah korban tewas mencapai 59 orang, 35 orang
di antaranya di Propinsi Papua. Kekacauan Pilkada juga menyebabkan kerusakab
pada rumah tinggal, kantor Pemda, kantor Parpol, kantor KPU, pertokoan dan
berbagai bangunan lainnya.
Pilkada merupakan kegiatan dengan mengerahkan energi masyarakat dengan biaya yang sangat tinggi,
terutama menyangkut biaya kampanye calon yang akan dipilih. Dalam hal ini
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi (dalam Kompas.com,
4 Juni 2013), setuju dengan pembatasan dana kampanye. Menurutnya biaya kampanye
pemilihan gubernur (Pilgub) tidak sampai Rp 100 miliar, dan pemilihan bupati
(Pilbup) tidak sampai Rp 30 miliar.
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas Pilkada, Komisi
II DPR, awal juni 2013 ini membahas materi Pemilu serentak dalam RUU Pilkada. Menurut
Ketua Komisi II DPR, Agun Gunanjar Sudarsa (dalam Rakyat
Merdeka Online, 22 Mei 2013), terdapat tiga opsi Pilkada serentak. Pertama,
Pilkada digelar secara per regional, yaitu setiap provinsi melakukan Pilkada
serentak bersamaan dengan Pilkada Kabupaten dan Kota; Kedua, tidak per hirarki
pemerintahan, yaitu provinsi, kabupaten dan kota serentak melakukan Pilkada;
dan Ketiga, per hirarki pemerintahan di mana pilkada gubernur dan
bupati/walikota dilakukan serentak.
Opsi pertama artinya serentak untuk setiap regional (34
provinsi), sehingga frekuensi Pilkada serentak menjadi 5 tahun (masa jabatan gubernur dan walikota)
dibagi 34 daerah, atau setiap 1,76 bulan sekali atau sekitar 53 hari sekali.
Opsi kedua seluruh daerah serentak melakukan Pilkada, jadi pada satu hari yang
ditentukan rakyat di 34 provinsi, 409 kabupaten dan 93 kota serentak memilih
kepala daerahnya. Opsi ketiga berdasarkan hirarki artinya, pemilihan 34
gubernur serentak dalam satu hari, dan pemilihan 409 bupati dan 93 walikota
serentak pada hari lainnya.
Bisa dikatakan tingginya biaya kampanye Pilgub, Pilbup dan
Pilwalkot menyebabkan banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Sampai
saat ini tercatat 295 kepala daerah tersangkut korupsi. Kalau jumlah seluruh
daerah di Indonesia ada 536 (34 provinsi, 409 kabupaten dan 93 kota), berarti
jumlah kepala daerah yang tersangkut korupsi mencapai 55 persen. Sebuah
pencapaian yang luar biasa, menunjukkan betapa buruknya sistem pengelolaan
daerah di negara kita. Sebagai dampaknya sudah tentu makin banyak daerah yang
mengalami carut-marut bahkan babak-belur,
karena tidak diurusi dengan baik.
Lantas, dengan ongkos politik, sosial, ekonomi dan keamanan
yang sangat tinggi, apakah Pilkada layak dipertahankan ? Atau bisa saja kembali
pada model pemilihan kepala daerah sebelum tahun 2005, yaitu dipilih oleh DPRD.
Perlu dihitung ulang secara cermat apakah hasil dan pelaksanaan Pilkada seperti
saat ini lebih banyak manfaat atau madlaratnya ? (Atep Afia)
Mochamad Alvin
ReplyDelete@A21-Alvin
Menurut saya, meninjau terdapat tiga opsi Pilkada serentak. Pertama, Pilkada digelar secara per regional, yaitu setiap provinsi melakukan Pilkada serentak bersamaan dengan Pilkada Kabupaten dan Kota; Kedua, tidak per hirarki pemerintahan, yaitu provinsi, kabupaten dan kota serentak melakukan Pilkada; dan Ketiga, per hirarki pemerintahan di mana pilkada gubernur dan bupati/walikota dilakukan serentak.
@D18-Yulus, Tugas A05
ReplyDeletePilkada memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, harus di kaji ulang, bagaimana sebaiknya dan se efisien apa pilkada dapat dilakukan.
semoga nantinya bisa lebih baik lagi tata cara dan prosesnya.