Sebenarnya isu
pergantian nama Provinsi Jawa Barat kembali mengemuka dalam diskusi Forum
"Nyaah ka Dulur" di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Bandung, Jumat,
8 Maret 2013 yang lalu. Keinginan sejumlah tokoh Jawa Barat ialah adanya kata
yang berjadi diri Sunda yang diterapkan pada nama provinsi.
Jati diri Sunda
Ketua Forum Diskusi
"Nyaah ka Dulur", Adjie Esa Poetra (dalam kompas.com),
menyatakan bahwa keinginan mengganti nama Provinsi Jawa Barat dengan nama yang
berjati diri Sunda. Dengan penggantian nama ini, pihaknya yakin masyarakat yang
ada di provinsi ini akan bangkit dari keterpurukan. Kalau tidak diganti,
masyarakat akan begini-begini saja, tidak ada perubahan. Di sisi lainnya,
Lembaga Adat Trah Kunci Iman yang diwakili Wawan Kurniawan Bahdiar mendukung
pergantian nama Jawa Barat. Sebagai langkah lebih lanjut, pihaknya akan segera
mengusulkannya ke Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat,
dan akan mendesak untuk membentuk pansus.
Menurut Juru Bicara Komunitas
Pengkaji Pergantian Nama Provinsi Jawa Barat, Asep Saepul Muhtadi (dalam antaranews.com),
bahwa Jawa Barat bukan nama tetapi lebih merupakan
kawasan regional yang sekarang sudah tak relevan dengan kondisi nyatanya, untuk
itu harus diganti dengan nama berjati
diri Sunda. Selanjutnya dijelaskan, nama Jawa Barat itu adalah pulau Jawa
bagian barat. Bukan nama yang ada filosofinya. Realitanya juga sekarang ada
yang lebih barat di pulau Jawa selain Jawa Barat, yakni Banten dan DKI.
Beragam argmumen oleh
banyak tokoh dari Jawa Barat sudah diajukan, bahkan usulannya sudah sampai di
DPRD Jawa Barat. Dalam hal ini, anggota
Komisi A DPRD Jawa Barat, Deden Darmansyah (dalam antaranews.com),
menilai usul Komunitas Pengkaji Pergantian Nama Provinsi Jawa Barat mengenai
pergantian nama Provinsi Jawa Barat dengan nama beridentitas Sunda mesti dikaji
lebih dalam dan hati-hati. Menurutnya, meski kedengarannya sederhana, tapi perubahan
nama itu harus mengubah UU 11 tahun 1950 tentang pembentukan Jawa Barat. Hal
ini pun lebih pada kewenangan pusat. Kita berupaya untuk mengkaji. Kalau DPRD
dan gubernur setuju, akan kita usulkan. Tapi kita juga harus koordinasi dengan
Komisi II karena akan mengubah UU.
Bukan hal baru
Pergantian nama sebuah
provinsi di Indonesia bukan merupakan hal baru seperti Provinsi Daerah Istimewa
(DI) Aceh berganti nama menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD); Irian
Barat menjadi Irian Jaya, kemudian Papua; dan sebagainya, tentu saja dengan
berbagai latar belakang historis dan filosofi. Pergantian nama merupakan suatu
kewajaran namun harus dipertimbangkan secara matang bagaimana konsekuensi yang
ditimbulkannya, baik terhadap internal daerah, maupun terhadap persatuan dan
kesatuan bangsa.
Nama sebuah provinsi
memang bisa berkaitan dengan nama geografis seperti pulau atau bagian dari
pulau, seperti Provinsi Sumatera Barat, Maluku Utara, Papua Barat, termasuk
nama Jawa Barat; Mengacu pada nama pulau sekaligus suku bangsa mendominasi,
seperti Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan sebagainya; Bisa juga mengacu pada nama suku bangsa mayoritas yang mendiami daerah
tersebut, seperti Provinsi NAD, Lampung, Gorontalo, dan sebagainya. Nah,
mungkin keinginan beberapa tokoh di Jawa Barat itu nama Sunda atau yang berkaitan
dengan kesundaan dimunculkan.
Alternatif nama
Sebenarnya sebelum tahun
1925 kawasan Jawa Barat bernama
Pasundan, Tatar Sunda atau Soendalanden. Dalam hal ini, situs wikipedia.org menjelaskan
bahwa nama Pasundan merupakan istilah
geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan
Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Sunda
sebagai bahasa ibu. Lantas, nama provinsi yang tepat apakah Provinsi Sunda,
Provinsi Pasundan, Provinsi Priangan, Provinsi Parahyangan, Provinsi Pajajaran,
Provinsi Galuh-Pakuan atau Provinsi Tarumanegara ? Tentu saja diperlukan
pengkajian yang mendalam, supaya pergantian nama tidak menimbulkan gejolak
sosial.
Kalau diganti nama
menjadi Provinsi Sunda atau Pasundan tentu saja menjadi kurang tepat,
sebagaimana pernah digulirkan oleh tokoh Pasundan, Soeria Kartalegawa tahun
1947. Bagaimanapun nama Jawa Barat tidak identik sepenuhnya dengan nama Sunda. Penduduk asli Jawa Barat tidak hanya etnis
Sunda tetapi juga orang Cirebon dan Betawi. Sebagaimana dijelaskan dalam
Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat No. 5 Tahun 2003 yang mengakui adanya tiga
suku asli di Jawa Barat yaitu Suku Betawi yang berbahasa Melayu dialek Betawi,
Suku Sunda yang berbahasa Sunda dan Suku Cirebon yang berbahasa Bahasa Cirebon
(dengan keberagaman dialeknya).
Adapun nama Provinsi
Priangan atau Parahyangan sebenarnya tidak mencerminkan wilayah Jawa Barat
secara utuh. Priangan pernah menjadi nama Karesidenan yang meliputi Kabupaten
Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya dan
Kabupaten Ciamis. Jadi hanya lima derah otonomi (saat ini telah berkembang menjadi 11 daerah otonomi) itulah
yang merupakan wilayah Priangan. Begitu pula nama Provinsi Pajajaran yang di
beberapa daerah tertentu akan mengalami resistensi, terutama di wilayah
Cirebon. Sedangkan nama Provinsi Galuh-Pakuan hanya akan lebih “dirasakan” oleh
masyarakat di Kabupaten Bogor dan Ciamis, sebagai bekas pusat kedua kerajaan
Tanah Sunda tersebut. Nama Tarumanegara hanya populer di Jawa Barat bagian
barat seperti Bekasi dan Karawang, tidak mencerminkan Jawa Barat secara
keseluruhan.
Penutup
Ternyata untuk memilih
sebuah nama saja tidak mudah, sehingga pepatah “apalah arti sebuah nama”
menjadi terbantahkan. Nama itu begitu penting, sebab menyangkut historis,
filosofi, nilai, karakter, dan sebagainya, apalagi jika dikaitkan dengan nama
sebuah provinsi yang dihuni oleh lebih dari 43 juta jiwa.
Konsekuensi lain dari
pergantian nama ialah menyangkut anggaran, mulai dari anggaran untuk perubahan
undang-undang, administrasi kependudukan, penggantian papan nama kantor
pemerintah, dan sebagainya. Hal tersebut membutuhkan sumberdana dan sumberdaya
yang tidak sedikit, yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk hal-hal yang lebih
produktif, seperti perbaikan infrastruktur di seluruh wilayah; Bantuan beasiswa
untuk calon mahasiswa yang tidak mampu, sebagai catatan tingkat partisipasi
kuliah generasi muda di Jawa Barat termasuk yang paling rendah di Indonesia;
Pengembangan ekonomi desa tertinggal, terutama di Kabupaten Garut dan Sukabumi,
sebagai catatan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, sampai saat ini
masih mencantumkan kedua daerah terluas di Jawa Barat tersebut sebagai daerah
tertinggal; dan sebagainya.
Sementara Pengamat
politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi (dalam sindonews.com)
menyatakan, bahwa penggantian nama itu
akan sia-sia dan tidak ada manfaat yang bisa dirasakan. Jika ingin membuat
masyarakat Jawa Barat tampil ke level nasional, bukan berarti harus ditempuh
dengan penggantian nama provinsi. Dijelaskan, bahwa salah satu yang perlu
dilakukan untuk menunjang hal itu, adalah dengan mengedepankan pendidikan dan
kesehatan bagi masyarakat. Dengan cara seperti itu, cakrawala masyarakat akan
terbuka dan tercerahkan. Tapi jika mengepankan isu primordialisme, cakrawalanya
akan tertutup dan menjadi langkah mundur.
Dengan demikian
dibutuhkan kehati-hatian, kajian dan
evaluasi yang obyektif dalam menanggapi keinginan untuk mengganti nama Provinsi
Jawa Barat, jangan sampai menimbulkan situasi yang kontraproduktif yang justru
membuat kemunduran Tatar Sunda ini. (Atep Afia)
Sumber Gambar:
www.bisnis-jabar.com
Sumber Gambar:
www.bisnis-jabar.com
saya lebih berpendapat sama seperti Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi, dari segi suku memang lebih banyak suku sunda namun ada dua suku lainnya yaitu Suku Betawi yang berbahasa Melayu dialek Betawi dan Suku Cirebon yang berbahasa Bahasa Cirebon (dengan keberagaman dialeknya).
ReplyDeletepergantian nama itu harus dikaji dengan matang, yang saya khawatirkan Jawa Barat bukan tambah maju malah akan timbul perpecahan.
Rifqi Fadhlurrahman
ReplyDelete@A014
Menurut saya hal ini harus di kaji lebih dalam guna tidak memicu perpecahan dalam provinsi jawa barat itu sendiri.
Rifqi Fadhlurrahman
ReplyDelete@A014
Menurut saya hal ini harus di kaji lebih dalam guna tidak memicu perpecahan dalam provinsi jawa barat itu sendiri.