Pages

KAA Media Group

Oct 23, 2021

Industri Yes, Lingkungan Rusak No !

 

Gambar : http://www.co.westmoreland.pa.us
Oleh : Atep Afia Hidayat - Meningkatnya kesadaran masyarakat akan lingkungan, bisa menimbulkan dampak meningkatnya kehati-hatian kalangan industri terhadap pengrusakan lingkungan. Apalagi jika sanksi dan hukum menyangkut kejahatan lingkungan sudah benar-benar diterapakan, tak mustahil jika slagon “industri yes, lingkungan rusak no” benar-benar terwujud.

 

Pesatnya pertumbuhan sektor ekonomi dengan industri sebagai tulang punggungnya selalu diimbangi dengan pesatnya degradasi mutu kingkungan. Makin pesat pertumbuhan sektor industri hampir selalu mengakibatkan anjloknya mutu lingkungan. Kenapa mesti demikian? Bukankah dalam mengembangkan industry apapun selalu disertai studi kelyakan (feasibility study) yang meliputi Analisis Menganai Dampak    Lingkungan (Amdal). Lantas, sejauh mana validitas dari Amdal tersebut, sudah benar-benar direalisasikan atau baru sekedar pelengkap evaluasi proyek?

Bagaimanapun langkah industrialisasi merupakan jurus ampuh untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Tak dapat dipungkiri bahwa insentif ekonomi dan dampak eksternal sektor industri lebih besar dibanding pertanian. Selain itu, tingkat produktivitas dan efisiensi sektor industri lebih tinggi dan menyerap tenaga lebih banyak.

Dalam setiap proses produksi selalu dihasilkan produk sisa atau limbah, hal itu berlaku untuk semua jenis industri. Dengan demikian dituntut penangan yang seksama. Limbah industri tidak bisa dibiarkan atau dibuang begitu saja. Jika berbuat demikian, maka sang industriawan terkesan tak bertanggung jawab, terlalu mengejar keuntungan, bahkan kurang bermoral. Sebenarnya, tindakan mencemari lingkungan yang berakibat merugikan dan membahayakan orang banyak, merupakan tindak pidana yang harus di hukum berat.

Limbah industri berwujud gas, cair atau padat, jelas belum dijamin untuk tidak membahayan penduduk. Limbah industri tekstil yang berwarna warni dengan bau tak sedap, dengan leluasanya memesuki saluran air atau sungai. Padahal, sungai itu digunakan orang banyak, bukan oleh industri tekstil semata.

Dengan kondisi perairan yang sudah demikian kotornya, penduduk jadi enggan untuk mendayagunakanya, baik untuk keperluan sehari-hari atau untuk kegiatan ekonomi (seperti untuk pertanian, perikanan, peternakan, dan sebagainya). Pendududk menjadi kehilangan sebagian sarana kehidupannya. Selain dari itu, tak jarang limbah industri tersebut menimbulkan wabah penayakit, seperti gatal- gatal dan diare.

Di atmosfer Jakarta, Tangerang, Serang, Cilegon, Bekasi, Bandung, Cimahi, Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan sebagianya, kini sudah bertebaran sekian ratus senyawa kimia. Sekian puluh di antaranya bisa menyebabkan gangguan pernapasan dan penyakit kulit. Kalau asap terus dilepas tanpa kendali, tidak berlebihan jika pada suatu saat kota-kota industri akan diselimuti asbut (asap kabut), di mana bencana tersebut pernah menimpa Tokyo dan kota lain di Jepang. Siang hari, namun keadaan di kota gelap gulita, hingga lampu jalan dan kendaraan pun dinyalakan, tak lain karena sinar matahari tertahan oleh lapisan asbut. Tak ubahnya, seperti sebuah kota yang terkena semburan debu yang bersumber dari sebuah gunung yang meletus, seperti suasana Tasikmalaya yang pernah diselimuti debu Gunung Galunggung, Kota Manado yang diselimuti Gunung Lokon, serta Jogjakarta dan Megalang yang ditutupi debu Gunung Merapi.

Industrialisasi merupakan bagian dari pembangunan. Di manapun aktivitas membangun ini akan selalu memiliki risiko. Prof. Otto Soemarwotto (pakar lingkungan) pernah mengemukakan, masalahnya bukan membangun atau tidak membangaun, melainkan bagaimana membangun agar seklaligus mutu hidup dapat teruis ditingkatkan. Industrialisasi selalu memiliki risiko namun jika industriawan memiliki sadar lingkungan (darling) yang tinggi niscaya faktor risiko itu bisa ditekan.

Memang sulit untuk menjadikan industri dan lingkungan seiring dangan sejalan. Sektor industri tidak hanya mengeksploitir lingkungan, namun juga turut merawat dan melestarikannya. Demikian pula sebaliknya, faktor lingkungan makin menunjang sektor industri. Alhasil keduanya selalu dalam posisi yang berimbang, sehingga kesan dikotomis dan dilematis ditekan sedemikian rupa. Terlalu idealis memang, namun jika tidak begitu maka misi pembangunan yang sesungguhnya tak akan pernah tercapai. Apalah artinya jika pendapatan masyarakat cukup tinggi, namun ironisnya hidup bergelimang dengan sampah, limbah atau polutan.

Sektor industri bisa saja sejalan dengan lingkungan, namun untuk itu di perlukan pengorbanan yang tak sedikit, terutama dari kalangan industriawan sebagai pengekspolitir lingkungan. Pengorbanan itu bisa berupa penambahan biaya produksi untuk menambah ongkos lingkungan. Sebenarnya pengorbanan itu bukan semata-mata pengorbanan, karena di dalamnya menyangkut kenyamanan berusaha. Lingkungan yang dipelihara diharapkan mampu menunjang upaya meningkatkan produktivitas industri.

Untuk merealisasikan hal tersebut, paling tidak kalangan induustri dihimbau untuk membangun berbagai instalasi pengelolaan limbah, membuat fasilitas penyaring (filter) asap pabrik, dan menghijaukan lingkungan sekitar. Berbagai kegiatan tersebut sebagai bagian dari corporate social responsibility (CSR).

Untuk terciptanya keserasian antara industri dengan faktor lingkungan, yang notabene menyangkut masyarakat secara luas, diperlukan sikap tanggap dan obyektif masyarakat sekitar lokasi atau kawasan industri. Dengan demikian, berbagai kasus lingkungan bisa diselesaikan secara tuntas. Meningkatnya kesdaran masyarakat akan lingkungan, bisa menimbulkan dampak meningkatnya kehati-hatian kalangan industri terhadap pengrusakan lingkungan. Apalagi jika sanksi dan hukum menyangkut kejahatan lingkungan sudah benar-benar diterapakan, tak mustahil jika slagon “industri yes, lingkungan rusak no” benar-benar terwujud.

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.