Sumber : http://www.oceanairny.com |
Manusia sudah digariskan dalam proses penciptaannya bakal membuat kerusakan. Fakta sudah menunjukkan, serta bisa dilihat dari situasi dan kondisi planet Bumi yang terus menerus mengalami degradasi. Bumi yang hijau karena vegetasinya, atau biru karena air lautnya, kini nyaris kelabu, diselimuti polutan. Apalagi di atmosfer kota-kota besar yang padat pendudukan, warna kelabu itu sudah menjadi hitam-pekat.
Atmosfer kota-kota seperti Beijing, Calcutta, New Delhi bahkan Jakarta sudah dipenuhi debu dan kenyamanan penduduknya sudah terganggu. Untuk sekedar memperoleh udara bersih dan segar, penduduk harus terlebih dahulu pergi ke luar kota yang berjarak puluhan hingga ratusan kilometer. Tak heran jika pada hari-hari libur kawasan Puncak yang terletak antara Bogor-Cianjur selalu diserbu penduduk Jakarta, yang hanya sekedar mencari udara bersih.
Bumi kini adalah planet yang tengah menuju kehancurannya. Bagaimana tidak, hampir sebagian penduduk berpartisipasi dalam proses pengrusakan. Ada yang menebangi hutan, baik dengan peralatan tradisional atau dengan gergaji mesin dan peralatan canggih lainnya.
Ada yang terus menerus membuang sampah seperti plastik, logam dan sebagainya. Plastik terus di produksi seiring dengan konsumsinya yang makin meningkat. Kini plastik seolah sudah menjadi kebutuhan pokok, segala barang hampir selalu ada unsur plastiknya. Namun, ternyata, limbah plastik sulit dihancurkan, hingga berserakan menutupi sebagian permukaan bumi, makin meluas, dan tak mustahil suatu saat plastik akan menutupi seluruh permukaan bumi. Ini berarti bencana, berbagai proses ekologi Bumi akan terganggu, tanah menjadi tandus, berbagai jasad reniknya akan musnah, aliran air terhambat hingga menjadi rawan banjir, bahkan iklim pun akan terganggu.
Ini baru akibat plastik saja, padahal, sampah dan limbah itu berwujud ribuan zat, baik padat, cair atau gas, dan setiap detik terus menerus menjejali permukaan Bumi, tempat dimana manusia hidup dan berkembang biak. Kenyataannya sebagian dari sampah dan limbah itu beracun dan yang diracuni justru kehidupan manusia sendiri.
Sebagai gambaran, jumlah kendaraan bermotor di kota-kota besar terus meningkat. Di Jakarta umpamanya, kini terdapat lebih dari 9,6 juta kendaraan bermotor. Sudah jelas dari sekian banyak kendaraan bermotor itu, satu pun tak ada yang bebas polusi. Gas buangan itu dilepas dengan leluasa ke atmosfer hingga menambah kelabu warna permukaan Bumi. Pabrik-pabrik pun melepas gas buangan, begitu pula rumah-rumah. Tak heran jika jumlah penderita penyakit paru-paru terus meningkat karena paru-parunya sendiri teracuni. Ironisnya, banyak juga yang dengan sengaja meracuni diri sendiri, umpamanya dengan mengisap rokok. Sekali lagi, manusia memang membuat kerusakan, bahkan merusak diri sendiri.
Kini di kota-kota besar banyak bermunculan klub-klub kebugaran jasmani, yang mengupayakan agar para anggotanya sehat jasmani. Namun semua itu nyaris tak ada artinya jika lingkungan tempat tinggal tidak dibenahi, umpamanya udara di sekitarnya dibiarkan apa adanya, kotor, berdebu, bahkan mengandung gas berbahaya beracun. Sudah selayaknya setiap penduduk bahu-membahu untuk membangun dan menciptakan lingkungan tempat tinggal yang sehat.
Upaya yang dapat ditempuh antara lain, penghijauan, mengurangi konsumsi bahan bakar, serta sedapat mungkin menjauhi lokasi-lokasi industri. Idealnya lokasi pemukiman penduduk dijauhkan dari kawasan industri. Namun kenyataannya masih semberawut, pabrik berdempet-dempet dengan pemukiman penduduk. Penduduk disekitar pabrik akan banyak mengalami gangguan, mulai dari kebisingan, limbah, polusi dan cadangan air bawah tanah yang teredot.
Penduduk kota-kota besar yang padat industri, seringkali dihingapi stress, hingga berbagai penyakit pun bermunculan, baik penyakit yang bersifat medis atau psikologis. Lingkungan kota-kota besar sudah tercemar sedemikian rupa, hingga kondisinya tak ideal lagi untuk dijadikan tempat tinggal yang nyaman. Namun karena tak ada pilihan lain, terpaksa sebagian penduduk harus tinggal dilokasi-lokasi kumuh, tercemar dan sanitasinya buruk. Pemukiman kumuh makin meluas, kota-kotapun makin berantakan. Dengan kata lain, Bumi kita kini dan esok adalah planet yang makin diwarnai kekumuhan.
Bumi memang sedang menuju kehancurannya. Tak bisa disangkal suatu saat kehidupan di Bumi ini akan berakhir. Gejala-gejala ke arah itu sudah tampak, umpamanya dengan adanya suhu rata-rata Bumi yang cenderung meningkat. Di Bumi sedang terjadi proses pemanasan (global warming), tak lain karena ulah penduduknya juga yang terlampau rakus dalam mengeksploitasi sumberdaya alam. Kalau pemanasan global tak terkendalikan lagi, maka Bumi akan “mencair”, hingga membentuk gumpalan-gumpalan sebagaimana dalam proses pembentukannya.
Untuk menghambat proses degredasi ekosistem Bumi, tak ada pilihan lain, harus ada semacam “kebulatan tekad” di antara seluruh penduduknya yang kini melampaui angka 7 milyar jiwa. “Kebulatan tekad” itu berisikan kesepakatan bersama untuk mengurangi proses pembakaran, menekan jumlah output sampah dan limbah, memusnahkan senjata nuklir, menciptakan perdamaian dan kesejahteraan, dan sebagainya.
Untuk mewujudkan semua itu tak cukup dengan konferensi atau KTT belaka, yang terpenting ialah adanya tindakan nyata. Tak ada pilihan lain, untuk terwujudnya situasi dan kondisi Bumi kita yang lebih cerah,segenap ekosistem (biosfer) harus tetap terpelihara dalam keseimbangan. Dengan kata lain, gerakan sadar lingkungan (darling) harus betul-betul “mendunia”. Persoalan lingkungan merupakan persoalan global, dengan demikian harus ditangani secara komprehensif. Selamatkan Bumi !
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.