Dec 21, 2024

Ekspedisi Hati : Menjelajah Atmosfir Hati

Oleh : Atep Afia Hidayat (Kang Atep Afia)


E
kspedisi hati merupakan perjalanan panjang dan mendalam, menelusuri relung hati yang terdalam, menjelajah atmosfir hati yang bertabur bintang hati. Hati begitu luas, bisa seluas angkasa. Hati begitu dalam, bisa sedalam palung samudera yang terdalam.


Hati manusia begitu dinamis. Di sanalah pusat kehidupan. Hati begitu sensitif, merasakan beragam gejolak dan dinamika internal dan eksternal. Hati bersuara, hatipun bernyanyi. Hati bergembira, hatipun bisa menangis. Tangisan hati karena ada luka dan derita, karena hati menolak apa yang tidak dikehendakinya. Tawa hati adalah kebahagiaan, karena hati mendapat hiburan dan menerima apa yang dicarinya.

 

Pencarian hati terus berlanjut sampai kapanpun. Ujung penelusurannya adalah bertemu dengan pencipta dan penggerak hati, Allah SWT, Tuhan pencipta alam semesta. Hati yang menemukan Tuhan adalah hati yang damai, nyaman, tenang, tentram dan bahagia.

 

 

Memelihara Hati

 

Hati itu hanyalah segumpal daging di dalam dada. Kata Rasulullah SAW, jika segumpal daging itu baik, maka baik pula manusianya. Demikian pula sebaliknya. Hati harus dipelihara setiap saat. Jangan dibiarkan terkena noktah, walaupun satu butir. Tetapi mungkinkah itu ? Memelihara hati amat tidak mudah, sebab hati menerima beragam pengaruh. 

 

Ada yang datang melalui pikiran, penglihatan, pendengaran atau penciuman. Ketika mata melihat sesuatu yang mempesona hati, padahal bukan haknya, maka satu titik noda singgah di hati. Sulit dibayangkan, jika noda itu semakin banyak, tidak sempat dibersihkan, maka hati itupun akan menghitam seperti jelaga.

 

Memelihara hati harus intensif. Perlu penanganan khusus dan serius. Bagaikan merawat bunga di taman, supaya tetap segar dan semerbak. Hati yang segar dan semerbak adalah hati yang senantiasa rindu pada Sang Pencipta, Allah SWT. Kerinduan yang makin menumbuh-kembangkan hati, sehingga kebermaknaan hidup makin terasa.

 

Nikmatnya kehidupan yang hakiki, hanya akan terjadi manakala mata hati bisa melihat tanpa tabir. Bisa memahami makna dunia yang sesungguhnya. Bisa mengerti tujuan kehidupan yang sebenarnya. Tidak semata-mata manusia dan jin diciptakan, kecuali untuk beribadah kepadaNya. Tentu saja dengan sepenuh hati. Dengan hati yang bersih karena terpelihara.

 

 

Menjernihkan Hati

 

Perhatikan air dalam akuarium, kolam atau selokan, begitu kotor, bercampur lumpur yang pekat. Pada dasarnya air itu bisa dijernihkan. Bisa melalui proses fisika, kimia atau biologi. Begitu pula hati yang berlumpur, dapat dijernihkan. Hanya bukan dengan proses fisika, kimia atau biologi. 

 

Menjernihjan hati harus dengan 'obat hati'. Obat hati tidak ada di apotik atau toko obat. Obat hati hanya ada di dalam hati itu sendiri. Memang hati yang kotor dapat menjernihkan dirinya sendiri. Hati yang luka dapat mengobati dirinya sendiri. Asalkan ada kemauan hati untuk berubah, menjadi hati yang bersih dan hati yang sehat.

 

Setiap hari, seperti akuarium atau kolam, hati pun selalu dilumpuri. Kalau dibiarkan, lumpur itupun akan terus mengendap, mengeras bahkan membatu. Hati yang membatu terjadi karena tidak ada upaya penjernihan hati. Dan hati pun bisa berkarat, akhirnya keropos dan musnah. Munculah sebagai manusia 'tidak berhati'. Sulit dibayangkan, dampak dari perbuatan manusia tidak berhati.

 

Di beberapa negara Afrika, Eropa atau Asia misalnya, pernah terjadi genosida. Pembantaian puluhan juta manusia secara membabi-buta. Perempuan, anak-anak, manula, siapapun dari etnis tertentu menjadi target pembantaian. Para pembantai, terutama aktor intelektualnya, jelas merupakan manusia yang tidak berhati.

 

Komunitas manusia pada dasarnya merupakan komunitas hati. Terjadi interaksi hati dalam populasi manusia. Jika rata-rata hatinya baik, maka komunitas itupun akan menjadi masyarakat adil dan sejahtera, atau masyarakat madani. Sebaliknya, jika komunitas tersebut didominasi oleh hati yang hitam, hati yang buruk atau hati yang busuk, sudah barang tentu akan terbentuk masyarakat yang tidak beradab, saling memangsa dan saling menghancurkan.

 

Dengan demikian, upaya penjernihan hati harus secara kolektif. Dimulai dari sekarang, dari diri sendiri dan dari hal-hal yang kecil. Bangsa Indonesia pun perlu penjernihan hati sacara menyeluruh, supaya negara dan rakyat menjadi kuat menghadapi beragam cobaan. 

 

 

Hati yang Bersih

 

Hati yang bersih bukan berarti hati yang bebas noda 100 persen. Noda itu selalu ada, tapi seberapa banyak. Itulah manusia, tak ada yang hatinya bersih 100 persen, kecuali para nabi dan rasul yang dibimbing Allah SWT, Tuhan pencipta alam semesta. 

 

Oleh sebab itu, kita dipandu untuk terus mengingat Allah, terus memohon ampunan, terus mendekatkan diri kepadaNya. Karena pada dasarnya hati itu labil, selalu oleng ke kanan dan ke kiri, selalu resah dan gelisah. Untuk mengatasinya, hanya ada satu cara, yaitu merasakan kehadiranNya. Memang tidak mudah.

 

Hati yang bersih artinya hati yang mendekati suci. Dengan demikian, setiap noda yang berusaha menepi, segera dihalau, dijauhi. Kalau noda itu melekat dan bertambah banyak, maka akan makin sulit untuk dibersihkan. Itulah latar belakang, kenapa kita harus sholat lima kali sehari (yang wajib), yang disertai bersuci (wudhu).

 

Lantas, kenapa manusia hatinya selalu labil, tidak pernah statis? Ada beberapa aspek yang mempengaruhinya. Aspek internal, seperti tidak adanya upaya penguatan dan pengembangan hati. hati dibiarkan tanpa makanan dan minuman hati. Hati menjadi kelaparan, hampa dan merana. Aspek eksternal meliputi godaan dari syetan yang berwujud manusia dan syetan yang berwujud jin.

 

Hati yang suci bisa mendadak kotor dalam hitungan detik, hanya karena ajakan seorang teman. Begitu pula sebaliknya, hati yang suci bisa bertambah suci, juga karena pengaruh seorang teman. Maka tak heran, jika ada istilah teman sehati. Jadi harus diperjelas, visi, misi dan fondasi hatinya seperti apa. Tak lain supaya hati tetap bersih.

 

 

Hati yang Teduh

 

Teduh mencerminkan kondisi yang sejuk, misalnya di bawah pohon. Terkadang disertai angin bertiup sepoi-sepoi. Angin yang lembut, semilir membelai tubuh. Hati yang teduh berati hati yang nyaman (istilah betawi : adem), hampir tidak ada gejolak, kecuali gejolak yang ringan. Hati yang teduh begitu menentramkan, begitu nikmat. 

 

Supaya kondisi hati dalam keadaan teduh, maka dinamika hati harus dipelihara. Gejolak hati harus diwaspadai. Gejolak hati biasanya dimulai dari masukan-masukan yang dianggap sepele, bahkan nyaris tak terasa. Tiba-tiba mengkristal menjadi semakin nyata. Maka hatipun mulai terpengaruh, merasa tak menentu, resah, gelisah, merana, dan sengsara. Jika tidak segera dibenahi, maka hati akan menjadi "sakit".

 

Hati yang teduh memang memerlukan konsentrasi untuk penanganannya. Berbagai antisipasi terhadap faktor eksternal perlu disiapkan. Bagaikan atmosfer bumi yang bersih, hati pun bisa tiba-tiba terkena polusi udara. Bagaikan sungai atau danau yang jernih, hati pun bisa mendadak terkena limbah. Persoalannya, sampai seberapa kuat hati itu diproteksi atau diimunisasi. Proteksi dan imunisasi hati sangat penting, karena hati sangat rawan kontaminasi beragam virus atau kuman hati. 

 

 

Hati yang Ikhlas

 

Kata ikhlas begitu mudah diucapkan, tetapi cukup sulit untuk diaplikasikan. Ikhlas itu bukan tanpa pamrih atau tidak ada motivasi. Di dalam ikhlas tetap ada pamrih dan motivasi, yaitu hanya untuk Allah SWT, Tuhan Pencipta Alam Semesta. 

 

Perbuatan atau sikap, ibadah, sedekah, ucapan, perasaan dan pikiran, hanya berfokus pada Allah SWT. Kita memberikan senyuman manis pada seseorang, tujuannya bukan demi orang itu, tetapi hanya untuk Allah SWT. Begitu pula seharusnya, ketika kita memotong hewan kurban, baik sapi, domba atau kambing. Hanyalah ikhlas karena Allah SWT.

 

Sebagaimana Nabi Ibrahim AS mengikhlaskan anaknya Ismail (kelak Nabi Ismail AS) untuk disembelih, karena perintah Allah SWT. Nabi Ibrahmi AS lebih mencintai Allah SWT dibanding apapun, termasuk anak tersayangnya, Ismail. Itulah hakikat ritual kurban yang dilaksanakan setelah Shalat Idul Adha.

 

Berkurban harus dilakukan setiap saat. Prinsipnya ialah kita mengurbankan beragam ego dan kepentingan pribadi, hanya untuk mendapat ridho Allah SWT semata. Segala sesuatu dengan ikhlas mengacu pada ketentuan Allah SWT yang disampaikan Rasulullah SAW. Setiap perasaan, pikiran, perkataan dan tindakan hanya mengacu pada sunatullah. Hati dipenuhi ke-ikhlas-an. Hati dipenuhi ridho Allah SWT. 

 

 

Hati yang Gundah

 

 Hati yang gundah gulana adalah kondisi hati yang tiada menentu, resah, gelisah, bagaikan kapal yang terapung di samudera luas. Tidak tahu arah, sulit menepi, bahkan tidak tahu arah pelabuhan.

 

Hati yang gundah menyiksa diri, karena menjadi sulit untuk menyikapi hidup dan kehidupan. Padahal arena kehidupan terus bergulir, tak pernah berhenti. Hati dengan kehidupan menjadi tidak klop, kurang harmoni. Inilah awal penderitaan.

 

Hati yang gundah harus segera diobati. Bagaimana caranya ? Hampiri Sang Pencipta Hati, Allah SWT. Tuhan pencipta alam semesta. Allah SWT yang membolak-balikan hati. Mintalah melalui do'a yang khusyu supaya hati ditentramkan. Supaya hati dibimbing ke jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah diberiNya nikmat, bukan jalan yang dimurkaiNya, dan bukan jalan yang sesat.

 

Hati yang gundah bisa tergelincir ke jalan yang sesat. Jalan yang membawa manusia ke arah kehancuran, kerugian besar, ketidak-jelasan masa depan. Bagaimanapun, masa depan itu ada pada aktivitas hati. Bagaimana mata hati melihat, bagaimana kata hati berbicara, di situlah masa depan yang sebenarnya.

 

Hati yang gundah jangan dipertahankan lama-lama. Segera enyahkan kegundahan itu. Songsong cahaya Ilahi yang menerangi setiap relung hati. Hati pun menjadi bercahaya, kehidupanpun dijalani penuh kebermaknaan dan keberkahan. Hati yang gundah pun perlahan berlalu, berganti dengan hati yang nyaman, tenang, percaya diri, karena sepenuhnya bersandar pada kekuatan Allah SWT.

 

 

Hati yang Melayang

 

Perhatikan layang-layang. Terbang tinggi mengangkasa, kadang menukik ke arah bumi. Layang-layang seperti memiliki kebebasan mutlak, dengan perlente memamerkan keindahannya di angkasa raya. Padahal, layang-layang dikendalikan sepenuhnya. Kapan harus makin tinggi, kapan harus pulang ke bumi.

 

Seperti itulah hati, melayang-layang di angkasa hati, kadang di atas, kadang terburuk di permukaan hati, atau menukik ke samidera hati. Hati yang melayang-layang, seolah tak terkendali, seolah tidak bisa membumi. Hati yang melayang-layang tampak lelah, energi hati terkuras tak menentu. Arah terbang tak tentu, menyita konsentrasi hati. Makin lama hati pun akan terpuruk, tidak memiliki 'power', bahkan 'binasa'.

 

Hati yang melayang merindukan kendali dan pegangan. Supaya perjalanan hati berlangsung penuh makna dan dilimpahi berkah. 

 

 

Mendengar Suara Hati

 

Hati itu merasa, bepikir, mendengar dan bersuara. Suara hati terus bisa lembut, bisa begitu kencang. Suara hati yang lembut justru lebih mudah didengar, sedangkan suara hati yang kencang, nyaris tak terdengar. Perhatikan dalam kerumunan orang, masing-masing hatinya bersuara sendiri-sendiri. 

 

Mereka merindukan pemimpin atau tokoh yang mengkonsolidasikan suara hati. Pemimpin sejati adalah pemimpin yang mampu mendengar suara hati, menanggapinya dan memberikan keteduhan hati. Suara hati adalah suara yang bersih, jujur dan obyektif. Kecuali kalau hatinya dalam keadaan berpenyakit.

 

Suara hati tak pernah berhenti, selalu terdengar kalau memang didengar. Menjadi samar-samar kalau telinga hati kurang berfungsi, bahkan tidak terdengar kalau telinga hati tuli. Suara hati pada dasarnya adalah kesadaran. Sedangkan kesadaran tertinggi adalah kesadaran akan posisi diri sebagai mahluk yang diciptakan, kesadaran akan keberadaan Allah SWT, sebagai Sang Pencipta, atau Sang Khalik.

 

Mari dengar suara hati masing-masing. Belum terdengar, coba lebih berkonsentrasi, lebih fokus. Hati berbisik, bahkan berteriak. Lantas, apakah kehendak hati saat ini ? Apakah ada kesesuaian antara suara hati dengan pikiran dan tindakan kita. Jika cocok, di sanalah letak kebahagiaan hidup. Hidup yang tenang, damai, bahagia dan sejahtera hanya terjadi jika ada kesatuan atau kekompakan antara suara hati, pola pikir dan tindakan. 

 

 

 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.