Oleh : Atep Afia Hidayat (Kang Atep Afia)
Ekspedisi hati
merupakan perjalanan panjang dan mendalam, menelusuri relung hati yang
terdalam, menjelajah atmosfir hati yang bertabur bintang hati. Hati begitu
luas, bisa seluas angkasa. Hati begitu dalam, bisa sedalam palung samudera yang
terdalam.
Hati manusia begitu dinamis. Di sanalah pusat kehidupan. Hati begitu sensitif, merasakan beragam gejolak dan dinamika internal dan eksternal. Hati bersuara, hatipun bernyanyi. Hati bergembira, hatipun bisa menangis. Tangisan hati karena ada luka dan derita, karena hati menolak apa yang tidak dikehendakinya. Tawa hati adalah kebahagiaan, karena hati mendapat hiburan dan menerima apa yang dicarinya.
Pencarian hati terus berlanjut sampai kapanpun. Ujung penelusurannya adalah
bertemu dengan pencipta dan penggerak hati, Allah SWT, Tuhan pencipta alam
semesta. Hati yang menemukan Tuhan adalah hati yang damai, nyaman, tenang,
tentram dan bahagia.
Memelihara Hati
Hati itu hanyalah segumpal daging di dalam dada. Kata Rasulullah SAW, jika
segumpal daging itu baik, maka baik pula manusianya. Demikian pula sebaliknya.
Hati harus dipelihara setiap saat. Jangan dibiarkan terkena noktah, walaupun
satu butir. Tetapi mungkinkah itu ? Memelihara hati amat tidak mudah, sebab
hati menerima beragam pengaruh.
Ada yang datang melalui pikiran, penglihatan, pendengaran atau penciuman.
Ketika mata melihat sesuatu yang mempesona hati, padahal bukan haknya, maka
satu titik noda singgah di hati. Sulit dibayangkan, jika noda itu semakin
banyak, tidak sempat dibersihkan, maka hati itupun akan menghitam seperti
jelaga.
Memelihara hati harus intensif. Perlu penanganan khusus dan serius.
Bagaikan merawat bunga di taman, supaya tetap segar dan semerbak. Hati yang
segar dan semerbak adalah hati yang senantiasa rindu pada Sang Pencipta, Allah
SWT. Kerinduan yang makin menumbuh-kembangkan hati, sehingga kebermaknaan hidup
makin terasa.
Nikmatnya kehidupan yang hakiki, hanya akan terjadi manakala mata hati bisa
melihat tanpa tabir. Bisa memahami makna dunia yang sesungguhnya. Bisa mengerti
tujuan kehidupan yang sebenarnya. Tidak semata-mata manusia dan jin diciptakan,
kecuali untuk beribadah kepadaNya. Tentu saja dengan sepenuh hati. Dengan hati
yang bersih karena terpelihara.
Menjernihkan Hati
Perhatikan air dalam akuarium, kolam atau selokan, begitu kotor, bercampur
lumpur yang pekat. Pada dasarnya air itu bisa dijernihkan. Bisa melalui proses
fisika, kimia atau biologi. Begitu pula hati yang berlumpur, dapat dijernihkan.
Hanya bukan dengan proses fisika, kimia atau biologi.
Menjernihjan hati harus dengan 'obat hati'. Obat hati tidak ada di apotik
atau toko obat. Obat hati hanya ada di dalam hati itu sendiri. Memang hati yang
kotor dapat menjernihkan dirinya sendiri. Hati yang luka dapat mengobati
dirinya sendiri. Asalkan ada kemauan hati untuk berubah, menjadi hati yang
bersih dan hati yang sehat.
Setiap hari, seperti akuarium atau kolam, hati pun selalu dilumpuri. Kalau
dibiarkan, lumpur itupun akan terus mengendap, mengeras bahkan membatu. Hati
yang membatu terjadi karena tidak ada upaya penjernihan hati. Dan hati pun bisa
berkarat, akhirnya keropos dan musnah. Munculah sebagai manusia 'tidak
berhati'. Sulit dibayangkan, dampak dari perbuatan manusia tidak berhati.
Di beberapa negara Afrika, Eropa atau Asia misalnya, pernah terjadi
genosida. Pembantaian puluhan juta manusia secara membabi-buta. Perempuan,
anak-anak, manula, siapapun dari etnis tertentu menjadi target pembantaian.
Para pembantai, terutama aktor intelektualnya, jelas merupakan manusia yang
tidak berhati.
Komunitas manusia pada dasarnya merupakan komunitas hati. Terjadi interaksi
hati dalam populasi manusia. Jika rata-rata hatinya baik, maka komunitas itupun
akan menjadi masyarakat adil dan sejahtera, atau masyarakat madani. Sebaliknya,
jika komunitas tersebut didominasi oleh hati yang hitam, hati yang buruk atau
hati yang busuk, sudah barang tentu akan terbentuk masyarakat yang tidak
beradab, saling memangsa dan saling menghancurkan.
Dengan demikian, upaya penjernihan hati harus secara kolektif. Dimulai dari
sekarang, dari diri sendiri dan dari hal-hal yang kecil. Bangsa Indonesia pun
perlu penjernihan hati sacara menyeluruh, supaya negara dan rakyat menjadi kuat
menghadapi beragam cobaan.
Hati yang Bersih
Hati yang bersih bukan berarti hati yang bebas noda 100 persen. Noda itu
selalu ada, tapi seberapa banyak. Itulah manusia, tak ada yang hatinya bersih
100 persen, kecuali para nabi dan rasul yang dibimbing Allah SWT, Tuhan
pencipta alam semesta.
Oleh sebab itu, kita dipandu untuk terus mengingat Allah, terus memohon
ampunan, terus mendekatkan diri kepadaNya. Karena pada dasarnya hati itu labil,
selalu oleng ke kanan dan ke kiri, selalu resah dan gelisah. Untuk
mengatasinya, hanya ada satu cara, yaitu merasakan kehadiranNya. Memang tidak
mudah.
Hati yang bersih artinya hati yang mendekati suci. Dengan demikian, setiap
noda yang berusaha menepi, segera dihalau, dijauhi. Kalau noda itu melekat dan
bertambah banyak, maka akan makin sulit untuk dibersihkan. Itulah latar
belakang, kenapa kita harus sholat lima kali sehari (yang wajib), yang disertai
bersuci (wudhu).
Lantas, kenapa manusia hatinya selalu labil, tidak pernah statis? Ada
beberapa aspek yang mempengaruhinya. Aspek internal, seperti tidak adanya upaya
penguatan dan pengembangan hati. hati dibiarkan tanpa makanan dan minuman hati.
Hati menjadi kelaparan, hampa dan merana. Aspek eksternal meliputi godaan dari
syetan yang berwujud manusia dan syetan yang berwujud jin.
Hati yang suci bisa mendadak kotor dalam hitungan detik, hanya karena
ajakan seorang teman. Begitu pula sebaliknya, hati yang suci bisa bertambah
suci, juga karena pengaruh seorang teman. Maka tak heran, jika ada istilah
teman sehati. Jadi harus diperjelas, visi, misi dan fondasi hatinya seperti
apa. Tak lain supaya hati tetap bersih.
Hati yang Teduh
Teduh mencerminkan kondisi yang sejuk, misalnya di bawah pohon. Terkadang
disertai angin bertiup sepoi-sepoi. Angin yang lembut, semilir membelai tubuh.
Hati yang teduh berati hati yang nyaman (istilah betawi : adem), hampir tidak
ada gejolak, kecuali gejolak yang ringan. Hati yang teduh begitu menentramkan,
begitu nikmat.
Supaya kondisi hati dalam keadaan teduh, maka dinamika hati harus
dipelihara. Gejolak hati harus diwaspadai. Gejolak hati biasanya dimulai dari
masukan-masukan yang dianggap sepele, bahkan nyaris tak terasa. Tiba-tiba
mengkristal menjadi semakin nyata. Maka hatipun mulai terpengaruh, merasa tak
menentu, resah, gelisah, merana, dan sengsara. Jika tidak segera dibenahi, maka
hati akan menjadi "sakit".
Hati yang teduh memang memerlukan konsentrasi untuk penanganannya. Berbagai
antisipasi terhadap faktor eksternal perlu disiapkan. Bagaikan atmosfer bumi
yang bersih, hati pun bisa tiba-tiba terkena polusi udara. Bagaikan sungai atau
danau yang jernih, hati pun bisa mendadak terkena limbah. Persoalannya, sampai
seberapa kuat hati itu diproteksi atau diimunisasi. Proteksi dan imunisasi hati
sangat penting, karena hati sangat rawan kontaminasi beragam virus atau kuman
hati.
Hati yang Ikhlas
Kata ikhlas begitu mudah diucapkan, tetapi cukup sulit untuk diaplikasikan.
Ikhlas itu bukan tanpa pamrih atau tidak ada motivasi. Di dalam ikhlas tetap
ada pamrih dan motivasi, yaitu hanya untuk Allah SWT, Tuhan Pencipta Alam
Semesta.
Perbuatan atau sikap, ibadah, sedekah, ucapan, perasaan dan pikiran, hanya
berfokus pada Allah SWT. Kita memberikan senyuman manis pada seseorang,
tujuannya bukan demi orang itu, tetapi hanya untuk Allah SWT. Begitu pula
seharusnya, ketika kita memotong hewan kurban, baik sapi, domba atau kambing.
Hanyalah ikhlas karena Allah SWT.
Sebagaimana Nabi Ibrahim AS mengikhlaskan anaknya Ismail (kelak Nabi Ismail
AS) untuk disembelih, karena perintah Allah SWT. Nabi Ibrahmi AS lebih
mencintai Allah SWT dibanding apapun, termasuk anak tersayangnya, Ismail.
Itulah hakikat ritual kurban yang dilaksanakan setelah Shalat Idul Adha.
Berkurban harus dilakukan setiap saat. Prinsipnya ialah kita mengurbankan
beragam ego dan kepentingan pribadi, hanya untuk mendapat ridho Allah SWT
semata. Segala sesuatu dengan ikhlas mengacu pada ketentuan Allah SWT yang
disampaikan Rasulullah SAW. Setiap perasaan, pikiran, perkataan dan tindakan
hanya mengacu pada sunatullah. Hati dipenuhi ke-ikhlas-an. Hati dipenuhi ridho
Allah SWT.
Hati yang Gundah
Hati yang gundah gulana adalah kondisi hati yang tiada menentu,
resah, gelisah, bagaikan kapal yang terapung di samudera luas. Tidak tahu arah,
sulit menepi, bahkan tidak tahu arah pelabuhan.
Hati yang gundah menyiksa diri, karena menjadi sulit untuk menyikapi hidup
dan kehidupan. Padahal arena kehidupan terus bergulir, tak pernah berhenti.
Hati dengan kehidupan menjadi tidak klop, kurang harmoni. Inilah awal
penderitaan.
Hati yang gundah harus segera diobati. Bagaimana caranya ? Hampiri Sang
Pencipta Hati, Allah SWT. Tuhan pencipta alam semesta. Allah SWT yang
membolak-balikan hati. Mintalah melalui do'a yang khusyu supaya hati
ditentramkan. Supaya hati dibimbing ke jalan yang lurus. Yaitu jalan
orang-orang yang telah diberiNya nikmat, bukan jalan yang dimurkaiNya, dan
bukan jalan yang sesat.
Hati yang gundah bisa tergelincir ke jalan yang sesat. Jalan yang membawa
manusia ke arah kehancuran, kerugian besar, ketidak-jelasan masa depan.
Bagaimanapun, masa depan itu ada pada aktivitas hati. Bagaimana mata hati
melihat, bagaimana kata hati berbicara, di situlah masa depan yang sebenarnya.
Hati yang gundah jangan dipertahankan lama-lama. Segera enyahkan kegundahan
itu. Songsong cahaya Ilahi yang menerangi setiap relung hati. Hati pun menjadi
bercahaya, kehidupanpun dijalani penuh kebermaknaan dan keberkahan. Hati yang
gundah pun perlahan berlalu, berganti dengan hati yang nyaman, tenang, percaya
diri, karena sepenuhnya bersandar pada kekuatan Allah SWT.
Hati yang Melayang
Perhatikan layang-layang. Terbang tinggi mengangkasa, kadang menukik ke
arah bumi. Layang-layang seperti memiliki kebebasan mutlak, dengan perlente
memamerkan keindahannya di angkasa raya. Padahal, layang-layang dikendalikan
sepenuhnya. Kapan harus makin tinggi, kapan harus pulang ke bumi.
Seperti itulah hati, melayang-layang di angkasa hati, kadang di atas,
kadang terburuk di permukaan hati, atau menukik ke samidera hati. Hati yang
melayang-layang, seolah tak terkendali, seolah tidak bisa membumi. Hati yang
melayang-layang tampak lelah, energi hati terkuras tak menentu. Arah terbang
tak tentu, menyita konsentrasi hati. Makin lama hati pun akan terpuruk, tidak
memiliki 'power', bahkan 'binasa'.
Hati yang melayang merindukan kendali dan pegangan. Supaya perjalanan hati
berlangsung penuh makna dan dilimpahi berkah.
Mendengar Suara Hati
Hati itu merasa, bepikir, mendengar dan bersuara. Suara hati terus bisa
lembut, bisa begitu kencang. Suara hati yang lembut justru lebih mudah
didengar, sedangkan suara hati yang kencang, nyaris tak terdengar. Perhatikan
dalam kerumunan orang, masing-masing hatinya bersuara sendiri-sendiri.
Mereka merindukan pemimpin atau tokoh yang mengkonsolidasikan suara hati.
Pemimpin sejati adalah pemimpin yang mampu mendengar suara hati, menanggapinya
dan memberikan keteduhan hati. Suara hati adalah suara yang bersih, jujur dan
obyektif. Kecuali kalau hatinya dalam keadaan berpenyakit.
Suara hati tak pernah berhenti, selalu terdengar kalau memang didengar.
Menjadi samar-samar kalau telinga hati kurang berfungsi, bahkan tidak terdengar
kalau telinga hati tuli. Suara hati pada dasarnya adalah kesadaran. Sedangkan
kesadaran tertinggi adalah kesadaran akan posisi diri sebagai mahluk yang
diciptakan, kesadaran akan keberadaan Allah SWT, sebagai Sang Pencipta, atau
Sang Khalik.
Mari dengar suara hati masing-masing. Belum terdengar, coba lebih
berkonsentrasi, lebih fokus. Hati berbisik, bahkan berteriak. Lantas, apakah
kehendak hati saat ini ? Apakah ada kesesuaian antara suara hati dengan pikiran
dan tindakan kita. Jika cocok, di sanalah letak kebahagiaan hidup. Hidup yang
tenang, damai, bahagia dan sejahtera hanya terjadi jika ada kesatuan atau
kekompakan antara suara hati, pola pikir dan tindakan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.