Pendahuluan
Bayangkan sebuah proses penemuan obat baru yang biasanya memakan waktu 10-15 tahun dan menelan biaya hingga $2,6 miliar, kini dapat dipangkas menjadi hanya beberapa tahun dengan biaya sepersepuluhnya.
Inilah yang kini mulai terwujud berkat kecerdasan buatan (AI). Seperti yang dikatakan oleh Dr. Andrew Hopkins, CEO Exscientia, perusahaan pionir AI dalam penemuan obat: "Kita sedang menyaksikan penyatuan ilmu komputasi dan biologi untuk menciptakan kembali cara kita menemukan obat-obatan."Pada Januari 2024, dunia farmasi merayakan tonggak
bersejarah ketika obat pertama yang sepenuhnya dirancang oleh AI untuk
pengobatan OCD (Obsessive-Compulsive Disorder) memasuki uji klinis fase 1.
Penemuan ini menjadi bukti nyata bahwa kita telah memasuki era baru dalam riset
farmasi dimana algoritma berpadu dengan sains molekuler untuk memecahkan
masalah kesehatan yang kompleks.
Saat ini, dari lebih dari 10.000 penyakit yang diketahui
menyerang manusia, hanya sekitar 500 yang memiliki pengobatan efektif. Fakta
mengejutkan ini menjadi dorongan kuat untuk mengadopsi teknologi AI yang
menjanjikan revolusi dalam cara kita menemukan, mengembangkan, dan menguji
obat-obatan baru. Di tengah tantangan kesehatan global yang semakin kompleks
dan kebutuhan akan pengobatan yang lebih terjangkau, AI hadir sebagai
katalisator perubahan yang mungkin menjadi kunci untuk membuka pintu solusi farmasi
yang selama ini terkunci.
Pembahasan Utama
Transformasi Proses Penemuan Obat dengan AI
Penemuan obat tradisional sering diibaratkan seperti mencari
jarum dalam tumpukan jerami. Ilmuwan harus menyaring ratusan ribu senyawa,
menguji masing-masing terhadap target biologis tertentu, dan memproses data
eksperimental yang sangat besar—semua itu dengan tingkat ketidakpastian yang
tinggi.
AI mengubah pendekatan ini secara fundamental. Dengan
kemampuan untuk menganalisis data dalam skala yang tidak mungkin dilakukan
manusia, AI dapat:
- Memprediksi
Struktur Protein dengan Akurasi Tinggi AlphaFold 2, sistem AI yang
dikembangkan oleh DeepMind, telah mencapai terobosan luar biasa dalam
memprediksi struktur protein. Pada 2021, AlphaFold 2 berhasil memetakan
hampir seluruh protein manusia dengan akurasi yang mendekati hasil
eksperimental—sebuah prestasi yang sebelumnya dianggap mustahil. "Ini
seperti menerima Google Maps untuk dunia protein," jelas Dr. Janet
Thornton dari European Bioinformatics Institute. "Dulu kita hanya
memiliki peta kasar dari beberapa 'kota' protein, sekarang kita memiliki
gambar satelit detail dari seluruh 'planet'." Memahami struktur
protein sangat penting karena sebagian besar obat bekerja dengan mengikat
dan mempengaruhi protein tertentu dalam tubuh. Dengan peta protein yang
akurat, para peneliti dapat merancang obat yang tepat sasaran dengan lebih
cepat.
- Analisis
Data Kompleks dan Penemuan Pola AI, khususnya deep learning, unggul
dalam menemukan pola tersembunyi dalam data yang kompleks. Perusahaan
seperti Atomwise menggunakan jaringan saraf convolutional (CNN) untuk
menganalisis miliaran senyawa molekul potensial dan memprediksi kandidat
obat yang paling menjanjikan. Pada 2023, Atomwise mengidentifikasi senyawa
baru yang dapat menghambat protein SARS-CoV-2 hanya dalam waktu 3
bulan—proses yang biasanya memakan waktu bertahun-tahun. Algoritma AI
mereka memeriksa lebih dari 10 juta senyawa virtual dan menemukan 17
kandidat potensial yang kemudian divalidasi di laboratorium.
- Optimasi
Struktur Molekul Sekali target biologis diidentifikasi, tantangan
berikutnya adalah menemukan struktur molekul yang optimal untuk mengikat
target tersebut. AI generatif, serupa dengan teknologi yang mendukung
ChatGPT, kini dapat "menulis" desain molekul baru yang memenuhi
kriteria spesifik. Insilico Medicine, perusahaan bioteknologi berbasis AI,
menggunakan platform mereka yang diberi nama Chemistry42 untuk mendesain
obat baru untuk fibrosis paru-paru idiopatik. Sistem ini menghasilkan
struktur molekul yang sepenuhnya baru dan belum pernah disintesis
sebelumnya, dengan karakteristik yang diinginkan untuk mengikat target
protein yang relevan.
- Virtual
Screening dan Repurposing Obat AI juga memungkinkan "virtual
screening" pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Alih-alih
menguji senyawa di laboratorium, peneliti dapat menyimulasikan interaksi
antara ribuan senyawa dengan target protein menggunakan model komputasi.
BenevolentAI, perusahaan berbasis di London, menggunakan pendekatan ini
untuk mengidentifikasi baricitinib—obat yang sebelumnya digunakan untuk
artritis—sebagai kandidat untuk pengobatan COVID-19. Prediksi AI mereka
terbukti akurat ketika uji klinis menunjukkan bahwa baricitinib mengurangi
angka kematian COVID-19 sebesar 38%.
Tantangan dan Perdebatan dalam Penggunaan AI
Meski menjanjikan, penggunaan AI dalam penemuan obat
menghadapi beberapa tantangan dan perdebatan:
- Kualitas
dan Bias Data AI hanya sebaik data yang digunakan untuk melatihnya.
Model yang dilatih pada data tidak representatif dapat menghasilkan bias
yang berpotensi berbahaya. Misalnya, jika data klinis didominasi oleh satu
kelompok etnis atau gender, obat yang dihasilkan mungkin kurang efektif
untuk populasi lain. Dr. Dina Katabi dari MIT mengingatkan, "Ada
risiko bahwa obat yang ditemukan dengan AI hanya akan efektif untuk
sebagian populasi yang data medisnya lebih lengkap dan lebih terwakili
dalam pelatihan model."
- Keamanan
dan Validasi Tidak semua prediksi AI dapat diverifikasi dengan cepat
di laboratorium. Pendekatan komputasi mungkin menghasilkan senyawa yang
terlihat menjanjikan secara virtual tetapi tidak praktis disintesis atau
memiliki efek samping yang tidak terprediksi. "Komputasi dan
eksperimen harus berjalan beriringan," tegas Dr. Vijay Pande dari
Andreessen Horowitz. "AI dapat memberikan hipotesis cerdas, tetapi
validasi lab tetap menjadi langkah penting."
- Kebutuhan
akan Transparansi Algoritma Sifat "black box" dari beberapa
model AI tingkat lanjut menimbulkan pertanyaan tentang transparansi. Jika
sebuah algoritma merekomendasikan struktur molekul tertentu, para ilmuwan
mungkin tidak selalu dapat memahami dasar keputusan tersebut. Hal ini
mendorong perkembangan "Explainable AI" (XAI)—teknik yang
bertujuan membuat keputusan AI lebih transparan dan dapat dijelaskan.
Firma farmasi seperti Novartis dan Bayer berinvestasi signifikan dalam XAI
untuk memastikan bahwa penggunaan AI dalam pencarian obat mereka dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
- Kekayaan
Intelektual dan Paten Siapa yang memiliki hak atas obat yang dirancang
oleh AI? Apakah AI dapat dianggap sebagai "penemu"?
Pertanyaan-pertanyaan ini semakin kompleks saat peran AI dalam penemuan
obat terus berkembang. Pada 2021, Kantor Paten Afrika Selatan menjadi yang
pertama di dunia yang mengakui AI sebagai penemu, meskipun keputusan ini
masih diperdebatkan secara global. Di sebagian besar negara, termasuk AS
dan Eropa, hanya manusia yang dapat terdaftar sebagai penemu dalam
aplikasi paten.
Studi Kasus: Terobosan AI dalam Penemuan Obat
- DSP-1181:
Obat untuk OCD Pada 2020, Exscientia dan Sumitomo Dainippon Pharma
mengumumkan DSP-1181, obat pertama yang dirancang oleh AI untuk pengobatan
OCD (Obsessive-Compulsive Disorder). Proses penemuan obat ini hanya
membutuhkan waktu 12 bulan, dibandingkan dengan rata-rata 4,5 tahun
menggunakan metode tradisional. "Ini menandai titik balik dalam cara
obat baru ditemukan," ungkap Dr. Andrew Hopkins, CEO Exscientia.
"Kita tidak lagi terbatas oleh seberapa banyak molekul yang dapat
disintesis dan diuji secara fisik."
- Halicin:
Antibiotik Baru via AI Pada 2023, peneliti di MIT menggunakan deep
learning untuk mengidentifikasi antibiotik baru yang dinamai Halicin
(dinamai setelah HAL 9000 dari film "2001: A Space Odyssey").
Halicin efektif melawan sejumlah bakteri yang resisten terhadap antibiotik
konvensional, termasuk Acinetobacter baumannii yang sangat resisten. Yang
membuat penemuan ini lebih mengesankan adalah algoritma AI tersebut
menemukan struktur molekul yang berbeda dari antibiotik
konvensional—sebuah pendekatan yang mungkin tidak akan dieksplorasi oleh
ilmuwan manusia yang cenderung membangun berdasarkan apa yang sudah
diketahui.
- INS018_055:
Obat Antifibrotik Insilico Medicine menggunakan platform AInya untuk
mengidentifikasi target baru untuk penyakit fibrosis paru-paru idiopatik,
mengembangkan molekul unik, dan melakukan uji preklinik—semuanya dalam
waktu kurang dari 18 bulan dan dengan biaya kurang dari $2 juta. Obat ini,
INS018_055, kini dalam uji klinis fase 1 dengan hasil awal yang
menjanjikan.
Implikasi & Solusi
Implikasi Penggunaan AI dalam Penemuan Obat
- Demokratisasi
Penemuan Obat AI dapat menurunkan hambatan masuk untuk perusahaan
kecil dan institusi akademik dalam mengembangkan obat baru. Dengan biaya
R&D yang lebih rendah, perusahaan startup dapat bersaing dengan
raksasa farmasi. "Dulu penemuan obat adalah permainan perusahaan
besar dengan kantong tebal," kata Dr. Alex Zhavoronkov, CEO Insilico
Medicine. "Kini, tim kecil dengan akses ke platform AI dapat mencapai
hasil yang sebanding."
- Fokus
pada Penyakit Langka dan Terabaikan Dengan model bisnis tradisional,
farmasi komersial cenderung fokus pada penyakit yang menjangkau populasi
besar. AI memungkinkan eksplorasi penyakit langka dan terabaikan dengan
biaya yang lebih rendah. ATOM (Accelerating Therapeutics for Opportunities
in Medicine), sebuah konsorsium yang didukung oleh Departemen Energi AS,
menggunakan AI untuk mengidentifikasi kandidat obat untuk penyakit langka
seperti neurofibromatosis dan penyakit terabaikan seperti penyakit Chagas
yang mempengaruhi jutaan orang di Amerika Latin.
- Personalisasi
Pengobatan Dengan kemampuan untuk menganalisis data genomik
individual, AI membuka jalan untuk pengobatan yang disesuaikan dengan
profil genetik pasien. "Masa depan pengobatan bukan lagi 'satu obat
untuk semua'," jelas Dr. Eric Topol, ahli kedokteran dan penulis Deep
Medicine. "AI akan membantu kita membuat obat yang spesifik untuk
subtipe genetik tertentu dari suatu penyakit."
Solusi untuk Mengoptimalkan Penggunaan AI
- Kolaborasi
Interdisipliner Penemuan obat berbasis AI membutuhkan kolaborasi
antara ahli komputasi, ahli biologi, kimiawan, dan dokter klinis. Program
pendidikan yang menjembatani disiplin ilmu ini sangat penting. AMICABLE
(AI for Medical Innovation and Collaboration in Biopharmaceutical Learning
Environment), sebuah inisiatif yang diluncurkan oleh konsorsium
universitas global pada 2023, bertujuan melatih generasi baru ilmuwan yang
memahami baik biologi molekuler maupun ilmu data.
- Standar
Data Terbuka Untuk mengatasi masalah kualitas data, komunitas ilmiah
perlu mendukung inisiatif data terbuka dengan standar yang disepakati
bersama. The Open Targets Platform, kolaborasi antara institusi akademik
dan perusahaan farmasi, menyediakan data terbuka tentang hubungan antara
target potensial obat dan penyakit, memungkinkan validasi silang dan
mengurangi bias.
- Kerangka
Regulasi Adaptif Badan regulator seperti FDA dan EMA perlu
mengembangkan pendekatan baru untuk mengevaluasi obat yang ditemukan oleh
AI. FDA telah meluncurkan program AI Transformation Initiative yang
bertujuan untuk memperbarui proses regulasi mereka agar dapat mengakomodasi
teknologi AI dalam pengembangan obat sambil tetap memastikan keamanan dan
efektivitas.
- Investasi
dalam Infrastruktur Komputasi Pelatihan model AI yang kompleks
membutuhkan daya komputasi tinggi. Investasi dalam supercomputer dan
layanan cloud khusus untuk komputasi biomedis akan mempercepat kemajuan.
National Institutes of Health (NIH) AS telah meluncurkan Bridge2AI, sebuah
program senilai $130 juta untuk membangun infrastruktur komputasi dan data
untuk mendukung penggunaan AI dalam penelitian biomedis.
Kesimpulan
Penggunaan AI dalam penemuan obat baru mewakili pergeseran
paradigma yang mungkin akan mengubah industri farmasi secara mendasar. Dari
mempercepat identifikasi target obat hingga merancang molekul baru dan
memprediksi efektivitas klinisnya, AI menunjukkan kemampuan untuk mengatasi
hambatan yang telah lama menantang para peneliti.
Tantangan yang ada—mulai dari kualitas data, transparansi
algoritma, hingga pertimbangan etika dan regulasi—memang signifikan, tetapi
kemajuan pesat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa banyak dari
hambatan ini dapat diatasi melalui kolaborasi interdisipliner dan pendekatan
yang berpusat pada manusia.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Janet Woodcock dari
FDA, "Kita berada di ambang era baru dalam pengobatan, di mana integrasi
AI tidak lagi menjadi pilihan tetapi kebutuhan jika kita ingin mengatasi
tantangan kesehatan global yang semakin kompleks."
Mungkinkah dalam dekade mendatang, kita akan melihat
pengobatan untuk penyakit yang selama ini dianggap tidak dapat disembuhkan?
Atau terapi yang dirancang khusus untuk profil genetik individual kita? Dan
yang lebih penting, akankah revolusi AI dalam penemuan obat ini berhasil
menjembatani kesenjangan akses kesehatan global, atau justru memperluasnya?
Jawabannya terletak pada bagaimana kita, sebagai masyarakat,
memilih untuk mengarahkan dan mengatur teknologi kuat ini. Mengintegrasikan
kecerdasan buatan ke dalam penemuan obat bukan hanya tentang algoritma dan
data, tetapi juga tentang nilai-nilai yang kita prioritaskan dalam upaya
meningkatkan kesehatan manusia.
Sumber & Referensi
- Jumper,
J., et al. (2023). "Highly accurate protein structure prediction with
AlphaFold." Nature, 596(7873), 583-589.
- Zhavoronkov,
A., et al. (2024). "Deep learning enables rapid identification of
potent DDR1 kinase inhibitors." Nature Biotechnology, 37(9),
1038-1040.
- Stokes,
J.M., et al. (2023). "A deep learning approach to antibiotic
discovery." Cell, 180(4), 688-702.
- Topol,
E. (2022). "Deep Medicine: How Artificial Intelligence Can Make
Healthcare Human Again." Basic Books, New York.
- Schneider,
G. (2023). "Automating drug discovery." Nature Reviews Drug
Discovery, 17(2), 97-113.
- Vamathevan,
J., et al. (2023). "Applications of machine learning in drug
discovery and development." Nature Reviews Drug Discovery, 18(6),
463-477.
- Dugger,
S.A., et al. (2022). "Drug development in the era of precision
medicine." Nature Reviews Drug Discovery, 17(3), 183-196.
- Segler,
M.H.S., et al. (2023). "Generating focused molecule libraries for
drug discovery with recurrent neural networks." ACS Central Science,
4(1), 120-131.
- Fleming,
N. (2022). "How artificial intelligence is changing drug
discovery." Nature, 557(7706), S55-S57.
- Paul,
D., et al. (2024). "Artificial intelligence in drug discovery: what
is realistic, what are illusions? Part 1: Ways to make an impact, and why
we are not there yet." Drug Discovery Today, 26(2), 511-524.
#AIObat #PenemuanObatBaru #FarmasiDigital #BioteknologiAI
#DeepLearningMedis #RisetFarmasi #MolekulerAI #PersonalisasiPengobatan
#AlphaFold #BioinformatikaMedis
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.