Oleh : Atep Afia Hidayat - Isu
koalisi Parpol yang belakangan makin mecuat, menjadi indikator bahwa memang
pemimpin bangsa itu amat langka. Pernyataan-pernyataan tokoh Parpol makin
mengisyaratkan bahwa mereka lebih cenderung hanya memikirkan kelompoknya.
Kondisi bangsa dan Negara yang terpuruk sangat membutuhkan pemimpin bangsa atau
negarawan yang handal, bukan Parpol-wan yang hanya sekedar memperjuangkan
kedudukan diri dan teman-temannya.
Sebenarnya Parpol adalah komponen politik untuk
memajukan bangsa dan Negara. Idealnya antar Parpol membentuk sinergi yang makin
memperkokoh beragam aspek berbangsa dan bernegara. Keterpurukan kondisi sosial,
ekonomi, politik dan hukum nasional saat ini tidak terlepas dari ketiadaan
pemimpin bangsa. Kenapa pemimpin bangsa, ya negeri yang bhineka ini butuh
perekat, sehingga menjadi kesatuan yang utuh, seperti tak terpisahkan. Negeri
besar dan makmur ini akan terkoyak manakala terjadi ketiadaan pemimpin bangsa.
Pemimpin bangsa mampu menjadi
simbol pemersatu bangsa; Pemimpin bangsa piawai dalam mengayomi segenap rakyat,
tak ada yang dimarjinalkan; Pemimpin bangsa mampu mengupayakan perbaikan
kesejahteraan rakyat. Pemimpin bangsa ada dihati 237 juta rakyat, hadir di 17
ribu pulau, berpengaruh kuat di 33 propinsi, 98 kota dan 399 kabupaten di
seluruh Indonesia.
Ya, pemimpin bangsa adalah kepala Negara, kepala pemerintah atau negarawan bagi seluruh
wilayah Negara dan segenap rakyat. Selain itu, pemimpin bangsar memiliki
pengaruh kuat di dunia internasional, minimal di kawasan regional Asia
Tenggara. Pemimpin bangsa Indonesia harus memiliki kredibilitas global, karena
bangsa Indonesia bangsa keempat terbesar di dunia. Akibat kelangkaan pemimpin
bangsa maka bangsa dan Negara Indonesia masih disejajarkan dengan kelompok
Negara kecil.
Dalam sejaran kemerdekaannya,
Indonesia pernah memiliki pemimpin bangsa yang begitu menonjol, yaitu Soekarno
dan Soeharto, terlepas dari kontradiksi yang menyertainya. Setelah itu tidak
banyak pemimpin bangsa yang pengaruhnya begitu kuat terhadap dinamika bangsa
dan Negara. Setelah era Soekarno dan Soeharto yang taraf ke-negarawan-an-nya
begitu kuat, muncul pemimpin-pemimpin yang belum begitu fokus pada negara dan
rakyat secara holistik dan komprehensif.
Pemimpin-pemimpin pasca Soekarno
dan Soeharto masih enggan “melepas” posisi di kelompoknya. Dengan kata lain,
belum bisa menjelma menjadi pengayom bangsa, karena masih terlalu lengket
dengan atribut kelompok atau komponen bangsanya. Ya, bagaimanapun bangsa ini
meliputi banyak komponen, ada komponen budaya, politik, sosial, ekonomi, dan
sebagainya. Nah, manakala seseorang dari komponen bangsa tertentu terpilih
menjadi pemimpin bangsa, harus dengan sukarela “melepas” atribut
kekomponenannya.
Dalam hal ini “melepas” bukan
berarti “menanggalkan”, tetapi “melarut” dengan komponen bangsa lainnya.
Bahkan, tercatat pernah ada pemimpin bangsa yang merangkap sebagai ketua
Parpol. Selayaknya, setelah seseorang dinyatakan sebagai pemimpin bangsa
melalui Pemilu, lepaskanlah atribut hijau, biru, kuning atau merahnya, yang
perlu diusung ialah atribut merah-putih.
Pemimpin bangsa atau calon pemimpin
bangsa harus belajar dari suporter sepak bola, ketika yang diusung adalah tim
nasional, maka dengan sendirinya mereka melepas atribut jakmania, bonek, bobotoh,
aremania, dan sebagainya. Demi bangsa dan negara Indonesia, kisruh koalisi
Parpol tidak perlu berlarut-larut, sehingga mereduksi energi bangsa.
Lepaskanlah kepentingan Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, dan sebagainya,
sepakatilah bahwa kepentingan Indonesia harus diutamakan. (Atep Afia).
Mencari pemimpin bangsa yang mampu mengayomi seluruh lapisan rakyat indonesia tanpa terkecuali, Seorang pemimpin yang dicalonkan oleh parpol dan mau melepas atribut parpol setelah ia terpilih. Pemimpin yang berani mengambil sikap dan suatu keputusan negara tanpa dipengaruhi oleh parpol pendukungnya. Mungkinkah itu semua terjadi? Ya itu mungkin terjadi jika ada kemauan dan kesadaran dari parpol pengusungnya untuk mendukung setiap keputusan dari seorang pemimpin negara apaun yang menjadi keputusannya selama tidak menyimpang dari konstitusi dan untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Karena untuk merubah bangsa ini dibutuhkan suatu terobosan dan keberanian dari pemimpin bangsa untuk membawa bangsa ini kearah yang lebih baik. Sekali lagi mungkinkah itu terjadi?
ReplyDelete@A26-sinta, tugas TA05
ReplyDeletejaman sekarang mencari pemimpin yang tidak lewat parpol sepertinya sangat susah. karena parpol sekarang adalah yang memegang kendali atas pemerintahan. ibaratkan sekarang ada pemimpin yang mau mengajukan diri sebagai pemimpin tidak lewat parpol juga akan dicemooh oleh orang-orang. seperti ahok misalnya yang ingin maju sebgai gubernur Jakarta tanpa lewat parpol banyak orang yang menganggap dia sombong padahal parpol itu lah yang membuat pemimpin-pemimpin Negara ini banyak yang tidak bermutu. ibaratkan kalo pemimpin yang diusung menang dalam pemilu para pihak parpl yang berkoallisi akan meminta baagian untuk jabatan di kursi pemerintahan.jadi, sebetulnya parpol itu tidak penting dan tidak ada gunanya.
Pazrin Salsabila @E01-Pazrin
ReplyDeleteMelihat dari artikel diatas tentunya sangat menarik, dimana dalam konteks ini terdapat suatu unsur yang membuka pemikiran sebagai mahasiswa yakni peduli dengan kondisi politik di tanah air ini. memang berbeda zaman sekarang dengan era orla ataupun orba, dengan era reformasi memunculkan banyak parpol dan itu menajdi suatu dampak dari reformasi. Nah sekarang ini koalisi parpol ya tidak jauh adri kekuasaan, karena yang kuat akan menang maka parpol sekarang akan menhgikuti parpol yang kuat, untuk itulah koalisi digencarkan.