Oleh : Atep Afia Hidayat - Dalam beberapa dekade terakhir kita dibuat takjub oleh kemajuan beberapa bangsa seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, bahkan India dan Iran. Negara-negara tersebut tumbuh pesat karena begitu peduli pada kemajuan penelitian dan pengembangan (Litbang).
Pertumbuhan ekonomi terjadi di seluruh permukaan bumi, meski ada kekecualian untuk kawasan tertentu seperti yang dilanda bencana alam dan peperangan. Namun secara keseleuruhan perekonomian dunia terus menggelembung, volume dan transaksi bisnis antar negara terus membengkak.
Arus keluar masuk produk atau komoditi dari suatu negara ke negara lainnya semakin lancar, meski yang namanya hambatan seperti proteksi yang berlebihan dan bea masuk yang tinggi masih sering ditemukan. Setiap negara berlomba-lomba untuk meningkatkan produksinya, sebagai konsekuensinya tentu saja terjadi kompetisi yang semakin ketat dalam menguasai pangsa pasar.
Ratusan komoditi diproduksi di negara kita, mulai dari yang bersifat komoditi primer atau bahan mentah hingga produk industri canggih seperti pesawat terbang. Dalam menembus pasar global yang diwarnai oleh tingkat persaingan yang makin ketat, kualitas produk menjadi faktor penentu.
Hanya produk yang bermutu yang bakal dilirik konsumen. Dalam hal inilah letak pentingnya aspek penelitian dan pengembangan (Litbang), yaitu untuk mengkaji kualitas produk, meneliti selera konsumen sekaligus mengukur pangsa pasar.
Dalam era persaingan global fungsi Litbang menjadi semakin strategis. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi ekspor harus terus ditingkatkan. Supaya aneka produk kita laku di luar negeri perlu didukung oleh Litbang.
Bagi negara sedang berkembang seperti Indonesia setidaknya harus memiliki kemampuan untuk mengadopsi teknologi. Menurut Untung Iskandar (1992), dewasa ini proses alih teknologi meliputi empat tahap:
Pertama, produksi berdasar lisensi yang diikuti dengan progressive manufacturing plan, di mana secara bertahap komponen-komponen makin banyak diproduksi di dalam negeri, sehingga pada akhir dari tahap itu sebagian besar komponen sudah dapat diproduksi di Indonesia.
Kedua, produksi barang baru berdasar teknologi yang dikuasai pada tahap pertama, untuk melayani pasar domestik yang secara betahap juga dikembangkan agar mampu menyerap produk itu.
Ketiga, produksi barang baru berdasar pengembangan teknologi yang dikuasai, untuk membuat pasar baru.
Keempat, melakukan kegiatan Litbang untuk mengembangkan ilmu dan teknologi sehingga mampu meproduksi barang dan jasa yang sebelumnya tidak terpikir untuk memproduksinya.
Baru sebagian kecil perusahaan yang ada di Indonesia yang melakukan kegiatan Litbang secara terorganisir. Di sisi lainnya pekerja sektor industry yang bergerak pada Litbang masih di bawah 5 persen. Selain itu jumlah perekayasa (engineers) per 1.000 penduduk di Indonesia, jauh lebih rendah jika dibandingkan Jepang dan Korea Selatan, bahkan di bawah Iran dan Bangladesh.
Pengeluaran dana Litbang per kapita di Indonesia sangat rendah, masih kalah dibanding Iran dan Bangladesh. Apalagi kalau dibandingkan Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Menurut Prof. B.J. Habibie, idealnya sekitar 1 persen penduduk terlibat dalam Litbang, serta minimal 1 persen dari PDB dialokasikan untuk kegiatan Litbang.
Untuk menghadapi kompetisi global, kualitas produk menjadi kunci penentu. Bagaimana bisa menjadi produk unggul dan pilihan utama konsumen jika kualitasnya di bawah standar. Kenyataannya baru sebagian kecil perusahaan yang telah berkiprah pada Litbang. Selain itu, anggaran terbesar untuk Litbang ternyata berasal dari pemerintah, bukannya dari swasta.
Sudah jelas sektor swasta banyak menarik keuntungan dari berbagai Litbang. Sebagai contoh, penelitian di bidang pertanian sebagian besar diselenggarakan oleh lembaga penelitian perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan balai penelitian di lingkungan Departemen Pertanian, namun ternyata sektor swasta merupakan konsumen terbesar hasil Litbang tersebut.
Penelitian mengenai kultur jaringan umpamanya, yang dirintis oleh beberapa lembaga penelitian PTN sejak puluhan tahun lalu, kini telah dimanfaatkan secara luas dan komersial oleh sektor swasta. Nilai tambah ekonomi berhasil diraih sektor swasta secara optimal. Nah, sudah selayaknya sector swasta memberikan dukungan maksimal terhadap kegiatan Litbang, setidaknya dalam penyediaan dana dan fasilitas penelitian.
Tradisi Litbang jelas harus ditumbuh-kembangkan, bukan lagi hanya menjadi kegiatan yang bersifat luxury cost. Dalam hal ini pemerintah bisa menyediakan iklim yang kondusif bagi perkembangan Litbang, antara lain melalui insentif perpajakan dan subsidi kepada penyelenggaraan Litbang.
Dalam era perdagangan bebas posisi Litbang menjadi semakin penting. Tantangan globalisasi menyebabkan sektor industri di negara kita harus mampu menghadapi kompetisi ekstra ketat, beberapa pesaing unggul seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, Hongkong, Cina, India, Pakistan, bahkan Vietnam dan Bangladesh kini sudah memprioritaskan kegiatan Litbang.
Industri di negara-negara tersebut terus berkembang, lantas berusaha mencoba menembus pasar ekspor. Aneka produk negara kita menghadapi persaingan yang super ketat, lantas keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif apa lagi yang bias diandalkan.
Kualitas teknologi jelas kita masih kalah oleh beberapa negara lainnya, begitu pula dalam hal efisiensi produksi. Lantas, cara apa lagi yang bisa ditempuh agar harga jula produk kita mampu bersaing. Bagi pengusaha yang kurang memperhatikan “moral”, ternyata langkah yang ditempuh ialah dengan “menyunat” upah pekerja, konon hal yang demikian bisa meningkatkan keunggulan komparatif.
Benarkah? Sama sekali “keliru”. Untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi semua hak pekerja harus dipenuhi. Jika tingkat upah tak memenuhi kebutuhan fisik minimum (KFM) maka para pekerja pun menjadi “loyo”, bagaimana hal itu bisa dikatakan sebagai suatu keunggulan komparatif.
Sudah semestinya tingkat upah di negara kita terus mengalami perbaikan. Upaya menggembar-gemborkan tingkat upah buruh yang murah, dengan tujuan untuk mendatangkan investor asing sebanyak-banyaknya, jelas menurunkan “gengsi” atau “citra” Bangsa Indonesia.
Menurut Untung Iskandar (1992), untuk meningkatkan daya saing di pasar global dengan investasi langsung, antara lain diperlukan syarat : kinerja mikroekonomi yang bersifat jangka panjang; kebijaksanaan ekonomi yang realistis dan masuk akal; pemanfaatan secara efektif faktor produksi langka; kebijaksanaan industri berdasar pasar terbuka dengan titik berat pada sektor swasta; serta kebijaksanaan investasi asing yang konsisten dan fair.
Dari sekitar 237 juta penduduk Indonesia (hasil Sensus Penduduk 2010), idelanya sekitar 2,37 juta atau 1 persen berpartisipasi aktif dalam kegiatan Litbang. Kondisi ideal tersebut tampaknya masih memerlukan banyak waktu dan upaya, terutama mengingat sebagian besar penduduk masih berpendidikan rendah. Diperlukan waktu beberapa dekade untuk menjadikan litbang dalam kondisi yang ideal, sehingga memberikan kontribusi optimal untuk perbaikan kinerja nasional. (Atep Afia)
Menurut saya Indonesia seharusnya bisa seperti negara negara maju lainnya sayangnya tenaga ahli dari dalam negeri kurang di perhatikan dengan baik sehingga kebanyakan mereka tidak ingin bekerja di Indonesia.
ReplyDeleteAriski 41615120036 KWU kamis
ReplyDeleteKetertinggalan Litbang Di Indonesia
Pada kesempatan kali ini menurut saya kenapa bangsa indonesia tertinggal dengan negara lain pada SDA kita sangat melimpah , karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap usaha dan kreatifitas yang dilakukan jadi jarang muncul ide2 atau pun gagasan untuk memajukan bangsa kita