Oleh : Atep Afia Hidayat - Pada prinsipnya dalam kehidupan senantiasa terjadi langkah-langkah, sikap, interaksi yang semuanya dilandasai oleh proses pengambilan keputusan. Waktu bangun tidur sampai tidur kembali, mulai matahari terbit hingga terbenam, terdiri dari berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus proses pengambilan keputusan. Keputusan itu diambil berdasarkan pemilihan sekian alternatif. Alternatif yang dianggap terbaik menurut situasi dan kondisi saat itulah yang diambil sebagai keputusan.
Namun sering terjadi bahwa keputusan yang diambil ternyata salah dan meleset, hingga menimbulkan kerugian dalam bentuk materi dan waktu. Biasanya makin tinggi posisi sosial seorang, makin berat pula bagi orang tersebut untuk mengambil keputusan, sebab makin banyak menyangkut orang lain.
Pada dasarnya terdapat dua jenis pengambilan keputusan yang dapat dilakukan oleh seseorang, yakni yang menyangkut dirinya sendiri dan yang menyangkut orang banyak. Makin tinggi kedudukan sosial seseorang, maka makin banyak pengambilan keputusan untuk jenis kedua. Sedangkan seorang individualis cenderung tidak mampu mengambil keputusan untuk orang lain.
Jenis-jenis pengambilan keputusan lainnya ialah yang formal dan non formal. Keputusan formal biasanya berlandaskan pada undang-undang atau aturan tertulis lainnya. Umpamanya UUD merupakan sumber atau reference untuk pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah dan rakyat sebuah Negara.
Aturan (Undang-undang atau UU) kehidupan yang dibuat oleh Tuhan merupakan reference bagi setiap insan untuk menjalani kehidupan. UU kehidupan tersebut merupakan sumber yang valid untuk pengambilan keputusan dalam setiap langkah kehidupan. UU atau aturan tak lain merupakan faktor pengendalian dari proses pengambilan keputusan.
Namun seringkali terjadi pengendalian yang sifatnya negatif, dengan kata lain terjadi penghambatan dari adanya undang-undang atau aturan tertentu terhadap pengambilan keputusan. Dalam kondisi seperti itu diperlukan adanya deregulasi.
Umpamanya, pada zaman kolonial Belanda terdapat UU tanam paksa, begitu pula di negara-negara komunis terdapat pengekangan UU terahadap kebebasan warganya. Tak dapat dipungkiri, bahwa pengekangan dari UU tersebut akan menyebabkan keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan, yang pada akhirnya akan menimbulkan pergolakan politik, seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Timur, pecahan Uni Soviet dan bagian dunia lainnya yang terkekang saat ini.
Dengan adanya pengekangan tersebut, maka kreativitas dan sumberdaya penduduk menjadi tidak berkembang, yang pada akhirnya akan melemahkan posisi suatu negara atau pemerintahan.
Terdapat dua jenis pengekangan, yakni pengekangan semu dan pengekangan ril. Contoh bentuk pengekangan semu, antara lain terjadinya kesalahan persepsi dari individu atau kelompok mayarakat. Contoh, dengan beredarnya isu biskuit beracun beberapa waktu yang lalu, maka keinginan untuk makan biskuit menjadi terkekang. Begitu pula, munculnya kasus pestisida palsu menyebabkan trauma bagi petani, sebab telah diketahui dampaknya akan menurunkan produksi.
Timbulnya bentuk pengekangan semu ini bisa saja disengaja, misalnya melalui propaganda dan penyebaran isu.
Bentuk pengekangan riil, yakni karena adanya faktor pembatas, baik yang munculnya dari alam atau karena budaya manusia. Namun pengekangan dari alam seringkali dapat di atasi dengan baik, umpamanya orang Jepang yang mampu mengembangkan sumberdayanya, hingga menjadi salah satu negara paling maju, padahal kondisi sumberdaya alamnya terbatas.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan, yakni : Pertama, pengambilan keputusan tidak menguasai persoalan secara komprehensif; Kedua, pengaruh atau tekanan dari pihak tertentu; dan Ketiga, terjadinya perbedaan persepsi yang mengakibatkan terjadinya mismanagement dan miscommunication.
Faktor pertama terjadi karena kurangnya pengalaman atau kurang proses belajar. Padahal, pengambilan keputusan merupakan proses penentuan untuk pemecahan suatu persoalan. Dengan demikian, langkah yang paling mendasar adalah penguasaan masalah, setelah itu lantas melakukan pemecahan masalah.
Hendaknya suatu masalah dipandang melalui kacamata mutidimensi dengan penggunaan kerangka pemikiran yang konstruktif, yang mampu menurunkan hipotesa yang tajam dan akurat.
Namun hal itu baru langkah awal, yang baru menjanjikan sekitar 25 persen dari keberhasilan. Sedangkan langkah yang terpenting berupa follow up yang terencana, terkendali dan terkontrol. Follow up tersebut harus mengacu pada mutu kerja atau selalu diarahkan pada tujuan (goal) semula. Ibarat seorang pengemudi bis atau pilot yang memegang kendali, supaya kendaraan sampai ketujuan dengan cepat dan selamat.
Faktor kedua yang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan ialah karena lemahnya bargaining position. Hal tersebut antara lain ditentukan oleh faktor fisik dan piskis. Seorang manajer yang kondisi fisiknya lemah lebih mudah dipengaruhi, apalagi yang psikisnya terganggu (umpamanya stres atau depresi). Dalam arena diplomasi atau negosiasi, justru faktor inilah yang banyak dipergunakan oleh pihak tertentu yang ingin meraih kemenangan.
Sedangkan untuk faktor ketiga dapat dijelaskan seperti berikut, persepsi setiap orang dalam masalah tertentu tidak pernah sama persis, terdapat perbedaan kecil hingga ekstrim. Seperti apa yang terjadi dalam benak penumpang bis antar kota tentu berlainan, tetapi tujuannya hampir sama, yaitu mereka naik bis antar kota untuk menuju tempat tertentu.
Perbedaan persepsi bisa menyebabkan terjadinya miscommunication, sebaliknya miscommunication juga bisa menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi. Untuk menyeragamkan persepsi harus terjadi dialog atau diskusi. Dengan adanya keseragaman persepsi maka akan terjadi pengambilan keputusan yang tepat.
Sebagai contoh, dalam upaya public service seperti pembenahan daerah kumuh, masyarakat penghuni harus diikutsertakan dalam perencanaannya (partisipatory planning). Dengan demikian terjadi kesamaan persepsi, hingga keputusan yang diambil tidak meleset dan tidak menimbulkan keresahan. Begitu pula untuk mendirikan suatu proyek tertentu, yang terpaksa menyebabkan terjadinya penggusuran, terlebih dahulu harus ada persamaan persepsi diantara pemerintah, pelaksana proyek dan pemilik lahan yang terkena penggusuran.
Proses pengambilan keputusan memang tidak sederhana, banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Keputusan yang diambil tentu saja harus yang menguntungkan semua pihak, untuk itu memang diperlukan langkah studi kelayakan (feasibility study). (Atep Afia)
Surya Dwiatmaja @C12-SURYA
ReplyDeletePengambilan keputusan memang tidak pernah mudah, apalagi yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kita perlu menguasai permasalahan yang terkait dengan dalam dan menyeluruh. Selain itu kita juga harus terbebas dari intervensi-intervensi baik dari dalam diri (kepentingan pribadi) maupun dari luar. Keputusan yang kita ambil haruslah menghasilkan keputusan yang win-win solution sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Sementara pengambilan keputusan yang hanya menyangkut diri sendiri mungkin akan lebih mudah untuk dilakukan karena apabila keputusan yang diambil keliru kita tidak merugikan orang lain.
Dalam pengambilan keputusan, terkadang kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit dan diharuskan untuk mengambil sebuah resiko. Pada situasi seperti ini peran pengetahuan mengenai masalah saja tidaklah cukup. Mental seseorang lebih bermain disini. Jadi dalam melakukan pengambilan keputusan agar keputusan yang diambil adalah yang terbaik, seseorang harus memiliki pemahaman mengenai masalah dengan baik, memiliki mental yang kuat dan pendirian yang teguh agar tidak mudah diintervensi oleh orang lain. Keputusan yang dihasilkan juga tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama, moral, dan hukum yang berlaku.
Sekian terimakasih
Yusuf affandi @B09_YUSUF
ReplyDeleteDalam pengambilan keputusan ada beberapa aspek yg harus dipertimbangkan dan tentunya setiap pengambilan keputusan pasti kita dihadapkan pula pad resiko atas keputusan yg kita ambil. Dari situ lah kita dapat lebih selektif dalam memilih dan mengambil langkah mana yg harus kita ambil dan meminimalisir resiko yg di timbulakan dengan mempelajari dahulu masalahnya untuk bisa mengambil keputusan yg paling baik.