Oleh : Atep Afia Hidayat - Jumlah perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 3070, meliputi perguruan tinggi negeri (PTN) 83 (2,7%) dan perguruan tinggi swasta (PTS) 2.987 (97,3%). Setiap tahun semua perguruan tinggi menghasilkan ratusan ribu lulusan. Persoalannya hanya sebagian kecil yang berhasil diterima bekerja di sektor pemerintahan atau swasta, sebagian lainnya berhasil menciptakan usaha mandiri, dan sebagian lagi menjadi pengangguran profesional. Pengangguran yang berbekal ijazah pendidikan tinggi dengan tingkat intelektual yang rata-rata di atas lumayan.
Dalam kurun waktu 2009-2010, jumlah lulusan PTN dan PTS yang masih menganggur bisa mencapai 600 ribu. Jumlah tersebut mengalami kenaikan setiap tahun, karena rata-rata 30 persen dari 200 ribu mahasiswa yang diwisuda setiap tahun, tidak terserap di dunia kerja.
Namun jika ditelaah lebih lanjut, ternyata sebagian lulusan yang terserap dunia kerja mengalami ketidaksesuaian antara program studi yang ditempuh dengan bidang kerja yag diraih. Selain itu tidak sesuai dengan potensi sumberdaya manusia yang dimiliki (kurang menanprofesionaltang) dan tidak sesuai dengan insentif yang diperoleh.
Pengangguran profesional akan menjadi masalah yang cukup serius. Di satu sisi merupakan fakta adanya pemborosan potensi sumberdaya manusia, sedangkan di sisi lainnya bisa berpengaruh terhadap kondisi nasional. Hal itupun menunjukkan belum adanya titik temu antara dunia perguruan tinggi dengan dunia kerja.
Upaya untuk menjembataninya memang telah berulang kali ditempuh, namun belum ada hasil yang memuaskan. Hal itu setidaknya dibuktikan melalui angka-angka statistik pertumbuhan jumlah pengangguran profesional yang makin membengkak.
Dalam hal ini memang belum ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menyesuaikan aspek kualitas dan kuantitas lulusan dengan kebutuhan yang sebenarnya. Yang terjadi malah sebaliknya, daya tampung PTS dan PTN terus diperbesar, meskipun ada upaya untuk program studi yang sudah benar-benar mengalami kejenuhan dibatasi.
Tak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini perguruan tinggi masih terlalu berorientasi pada jumlah lulusan. Setiap PTS dan PTN berlomba-lomba untuk meningkatkan jumlah lulusannya, hal itu guna memenuhi angka efisiensi edukasi (AEE = rasio antara jumlah lulusan dengan jumlah mahasiswa). Tak heran jika sebuah PTS di Jakarta mampu mewisuda lebih dari 4.000 lulusan dalam setahun.
Dengan memperhatikan kondisi di lapangan, sudah selayaknya setiap pengelola perguruan tinggi melakukan reorientasi, tidak hanya terfokus pada jumlah lulusan, namun pada kebutuhan konsumen (dunia kerja).
Bidang studi apa yang lulusannya masih kurang namun sangat dibutuhkan. Selain itu dalam segi kurikulum perlu didukung oleh aspek relevansinya dengan permintaan lapangan kerja. Kenyataannya kurikulum yang diterapkan umumnya tertinggal jauh dengan perkembangan dunia usaha. Maka tak heran banyak lulusan yang benar-benar bingung ketika memasuki dunia kerja, antara teori yang diperoleh di perguruan tinggi kurang sesuai dengan fakta yang ada di lapangan.
Lulusan perguruan tinggi memang tidak dirancang untuk siap kerja. Istilah siap kerja lebih tepat ditujukan untuk calon tenaga pelaksana. Sedangkan untuk mengisi level menengah ke atas dalam suatu isntansi atau perusahaan dibutuhkan sumberdaya manusia yang siap latih. Namun ternyata menurut pengakuan beberapa manajer SDM sebagian besar lulusan belum bisa dikatagorikan siap latih.
Berdasarkan data di beberapa perusahaan, dari sekian banyak jumlah pelamar yang bergelar S1, yang benar-benar siap latih sangat terbatas. Dalam konsep siap latih itu terkait kemampuan untuk berpikir secara rasional, sistematis, dan mampu bekerja dengan kemampuan teknis.
Reorientasi juga perlu diarahkan pada aspek pelaksaaan belajar-mengajar. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar dosen memang cenderung teoritis. Sebagian program studi yang memiliki mata kuliah yang disertai praktikum ironisnya tidak memiliki laboratorium, kalaupun ada kondisinya tidak memadai. Kalaupun praktikum bisa diselenggarakan dengan baik hendaknya secara bertahap disesuaikan dengan praktek lapang yang sesungguhnya. Mahasiswa benar-benar merasakan bagaimana bekerja di lapangan, mulai dari menerapkan teori, menunjukkan kemampuan teknis sampai mampu mengelola secara tepat.
Membengkaknya jumlah pengangguran professional sudah menjadi salah satu masalah nasional, dengan demikian perlu dicari solusi yang komprehenship. Dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) melalui Direktorat Jenderal Pedidikan Tinggi (Dikti) perlu meningkatkan pengawasannya terhadap operasional perguruan tinggi. Namun hendaknya setiap perguruan tinggi diberi keleluasaan untuk mengembangkan jatidirinya sesuai dengan pola ilmiah pokok (PIP) maisng-masing.
Untuk memberikan keleluasaan agar PTS dengan leluasa mengembangkan diri hendaknya campur tangan Dirjen Dikti melalui Kopertis agak dikurangi. Ada baiknya istilah “Kopertis” (Kordinator Perguruan Tinggi Swasta) diganti menjadi “Koperti” (Kordinator Perguruan Tinggi). Jadi untuk Koperti Wilayah DKI Jakarta bisa meliputi UI, UIN, UNJ dan seluruh PTS yang ada.
Adanya deregulasi dibidang pendidikan tinggi akan membawa peluang bagi setiap perguruan tinggi, terutama PTS, untuk lebih meningkatkan kemampuannya, termasuk dalam menghasilkan lulusan yang lebih berorientasi pasar (dunia kerja/dunia usaha).
Solusi lain untuk megendalikan jumlah pengangguran professional ialah meliputi program magang yang diterapkan secara nasional. Dalam hal ini perlu dibuat peraturan pemerintah mengenai per-magang-an, isinya antara lain mewajibkan setiap perusahaan/instansi untuk menerima peserta magang, juga mengharuskan setiap perguruan tinggi untuk mencantumkan program magang dalam kurikulumnya.
Dalam hal ini magang tidak hanya mengikutsertakan mahasiswa, tetapi juga bagi dosennya dalam bentuk yang berbeda, misalnya melalui program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar penelitian oleh dosen, kontribusinya terhadap kemajuan dunia bisnis dan ekonomi nasional belum begitu nyata. Malah sebagian hasil penelitian itu hanya tersimpan di lemari perpustakaan.
Setiap dosen harus berani “melihat” keluar dan mengamati secara obyektif kondisi yang ada di lapangan, dengan demikian materi kuliah yang disampaikannya menjadi lebih aktual dan bersifat strategis konseptual. Dengan demikian para mahasiswanya pun kelak menjadi lebih siap untuk memasuki dunia kerja atau “rimba bisnis” yang sesungguhnya. (Atep Afia)
Moh.Muarif
ReplyDeleteUntuk menjadi sarjana yang kompeten bukan hal yang mudah diraih,namun memerlukan kerja keras dan semangat yang tinggi dan yang tak kalah pentingnya adalah mampu bersaing dan siap menjadi tenaga kerja ahli siap pakai serta mampu menciptakan peluang kerja guna mengatasi angka pengangguran yang cukup tinggi
Memang sudah seharusnya perguruan tinggi saat ini mencetak sarjana yang bukan sekedar hanya mencari gelar sarjana saja sebagai tuntutan pekerjaan atau karir. semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan kemajuan zaman sedikit demi sedikit memaksa kita sebagai generasi muda untuk ikut maju didalamnya. Oleh karena itu perguruan tinggi tidak boleh hanya memikirkan jumlah mahasiswa saja melainkan kualitas kelulusan dan gelar yang dipegang oleh sarjana tersebut karena mereka membawa almamater perguruan tinggi itu sendiri.
ReplyDeleteSungguh ironis memang bila mengetahui bahwa masih banyak sarjana yang menjadi pengangguran dan jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya. Hal ini menjadi PR kita bersama sebagai generasi muda bangsa. Masih rendahnya kualitas pendidikan kita dibanding negara lain dan masih rendahnya jumlah lapangan pekerjaan yang ada menjadi penyebab utamanya. Maka dari itu, perlu adanya revolusi pendidikan di Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikan di negeri ini sehingga menghasilkan generasi yang kompeten dan memiliki skill yang bersaing dengan negara lain. Dengan demikian, diharapkan semua lulusan perguruan tinggi sudah siap dengan dunia kerja yang akan digeluti karena sudah mengenal dan menguasai medan kerja yang akan dihadapi.
ReplyDeleteabdurahman 41611120040
ReplyDeletememang seharusnya lulusan PTS dan PTN sudah harus memiliki kemampuan yang dibutuhkan dalam perusahaan atau pekerjaan sesuai dengan kemahliannya karena banyak dari lulusan PTS dan PTN yang kurang siap untuk terjun kedunia industri dan kurang memiliki kemampuan, jadi banyak lulusan - lusan universitas menjadi pengangguran
oleh karena itu perlu adanya sistem pembekalan lebih serius di masing - masing universitas
Di zaman seperti ini yang semuanya diukur hanya dengan materi banyak perguruan tinggi yang orientasinya hanya bisnis,pengalaman saya pernah ditawarkan oleh sebuah perguruan tinggi ( bisa jadi oknum) di Jakarta sebuah gelar sarjana,hal semacam ini sangatlah ironis karena keadaan negaran kita saat ini yang dibutuhkan adalah tenaga-tenaga ahli yang salah satunya bisa dicetak dari perguruan tinggi untuk bisa memakmurkan rakyat.
ReplyDeletemenurut saya Lulusan perguruan tinggi tidak hanya diukur seberapa besar nilai IP nya saja , tetapi pada hakekatnya gelar sarjana yang diterima setelah lulus perguruan tinggi harus bisa memberikan kontribusi pada lingkungannya sendiri,
ReplyDeletePerguruan tinggi memberikan ilmu selama 8 semester, memang bukan bertujuan hanya untuk mencetak gelar sarjana, namun memberikan bekal berupa ilmu dan keterampilan sehingga siap untuk berkecimpung di dunia bisnis. Walaupun banyak Perguruan tinggi yang telah berdiri mandiri, namun masih perlu adanya intervensi dari pemerintah dalam hal penyaluran bantuan dana bagi Perguruan - perguruan tinggi yang belum memadai fasilitasnya, serta kebijakan dalam hal praktikum, sebagai sarana penerapan ilmu yang telah di dapat dari perkuliahan, seperti magang
ReplyDeletepercuma jika pts di negeri ini belomba-lomba menghasilkan 4000 lulusan dalam setahun namun tidak berkontribusi yang positif bagi masyarakat, lebih -lebih kpada hasil yg tidak kompeten. sangat disayangkan jika hal ini terus terjadi, bisa-bisa hanya membuang-buang duit dan tidak mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.
ReplyDeletemencetak sarjana itu mudah, tapi mencetak sarjana yang berkompeten itulah yang sulit.
Belajar adalah tujuan utama ketika menjadi mahasiswa, jadi kalau memang hanya sekedar mencari ijazah lebih baik tidak usah kuliah karena hanya buang waktu saja. Namun, lain halnya jika mempunyai niatan yang baik untuk mengembangkan diri kuliah lah....
ReplyDeleteSalam,
Fadli Mauladi
Bukan gelar yang sesungguhnya kita cari tapi ilmu yang bermanfaat.
ReplyDeleteapalah arti sebuah gelar jika tidak bisa berkarya.
saat ini memang banyak sarjana yang masih menganggur, hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas sarjana yang belum mumpuni. kebanyakan mencari dan menunggu untuk bekerja sesuai dengan bidang studi yang diambilnya waktu kuliah. masih sedikit yang mengaplikasikan ilmunya ke dalam dunia usaha.
apakah mereka tidak berani?
hal inilah yang harus menjadi perhatian institusi perguruan tinggi, jangan hanya berfokus saat si anak didik masih jadi mahasiswa namun apa yang bisa si mahasiswa lakukan setelah lulus nanti.
bagi Anda yang sedang kuliah, tujuan akhir memang gelar sarjana, namun yang lebih penting dari itu adalah proses Anda menjadi sarjana, karena itulah yang nantinya akan menentukan jadi sarjana speperti apakah Anda?
kenyataanya perguruan tinggi di negeri ini saling berlomba-lomba untuk menghasilkan lulusan terbanyak, namun kembali ke diri masing-masing jika kulia hanya untuk membeli ijazah lebih baik tidak usah kuliah, karena kuliah harus mempunyai niat untuk mengembangkan diri.
ReplyDeleteArief Risaldi, @E11-Arief
ReplyDeletehal ini menjadi pekerjaan tersendiri bagi perguruan tinggi di indonesia untuk meningkatkan mutu mahasiswa agar pada saat lulus, memiliki kualitas untuk terjun di dunia pekerjaan.