Oleh: Atep Afia Hidayat - Menarik sekali apa yang dilontarkan Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang, Jawa Timur, Prof DR H Imam Suprayogo dalam Kompas.com, bahwa saat ini kualitas pemikiran atau ide mahasiswa memang belum mumpuni. Apalagi dalam hal tulis menulis. Tidak semua lulusan sarjana bisa menulis. Menurutnya, banyak sarjana susah bicara apalagi menulis.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam menanggapi kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait kewajiban bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 untuk memublikasikan karya tulis ilmiahnya. Dalam hal ini Rektor UNI Maliki sangat mendukung kebijakan Dikti tersebut, karena sangat berimbas terhadap peningkatan kualitas mahasiswa.
Adapun Kebijakan Ditjen Dikti tersebut dikeluarkan melalui surat edaran bernomor 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012, yang ditujukan kepada Rektor/Ketua/Direktur PTN dan PTS seluruh Indonesia. Dalam surat tersebut disebutkan, bahwa saat ini jumlah karya ilmiah dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia hanya sepertujuh dari Malaysia. Pencapaian jumlah publikasi di negera jiran ternyata menjadi tantangan tersendiri bagi Dirjen Dikti, sehingga mulai kelulusan S1, S2 dan S3 setelah Agustus 2012 diberlakukan ketentuan publikasi karya ilmiah.
Lantas, apa benar publikasi ilmiah perguruan tinggi di Malaysia lebih berkuantitas dan berkualitas. Mari kita telusuri, paling tidak melalui penelusuran secara jurnal online. Melalui situs Scientific Journal Rankings (SJR), Indonesia berada pada peringkat 64, sedangkan Malaysia 43. Sebagai perbandingan, Singapura pada peringkat 32 dan Thailand 42. Namun Indonesia masih relatif lebih baik dari Philipina yang berada pada peringkat 70.
Dalam hal ini SJR mencatat, pada tahun 2011 hanya ada 5 jurnal Indonesia yang masuk peringkat dunia, yaitu dari 18.854 yang terdaftar. Kelima jurnal tersebut ialah Nutrition Bulletin, Acta medica Indonesiana, ITB Journal of Science, ITB Journal of Engineering Science, dan Critical Care and Shock. Lantas bagaimana dengan Malaysia ? Ternyata Malaysia menempatkan 43 jurnal. Melalui data yang diperoleh dari SJR kemampuan publikasi internasional Perguruan Tinggi di Indonesia hanya sepersembilan kali Malaysia.
Lantas, darimana lagi kita bisa mengetahui kekuatan publikasi ilmiah perguruan tinggi di Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan Malaysia ? Langkah berikut bisa diperoleh melalui Webometrics. Webometrics. Saat ini lebih dari 20.000 perguruan tinggi memperoleh pemeringkatan Webometrics. Dalam setahun Webometrics menerbitkan dua kali hasil pemeringkatan, yaitu periode Januari dan Juli. Menurut Romi Satria Wahono , Rangking Webometrics kebanyakan mengambil faktor “kehidupan” universitas di dunia Internet. Termasuk di dalamnya adalah aksesibilitas dan visibilitas situs universitas, publikasi elektronik, keterbukaan akses terhadap hasil-hasil penelitian, konektifitas dengan dunia industri dan aktifitas internasionalnya.
Selanjutnya dijelaskan, Webometrics ini adalah sebuah peluang menarik bagi universitas-universitas di negara berkembang bisa menikmati rangking universitas dunia. Kuncinya adalah bagaimana universitas bisa memperbanyak konten (scientific paper) yang dishare ke publik, diindeks di mesin pencari, dan sedikit kepintaran universitas memainkan Search Engine Optimization (SEO) untuk mengarahkan mesin pencari ke situs universitas.
Salah satu parameter dari Webometrics ialah Scholar (Sc), yaitu jumlah publikasi elektronik baik berupa jurnal, academic report dan academic item lainnya dari suatu website universitas dan terindeks oleh scholar.google.com. Kategori ini mempunyai bobot 15 persen. Nah kita lihat peringkat Scholar dalam Webometrics perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Ternyata untuk parameter Scholar, tidak satupun perguruan tinggi di Indonesia yang masuk 500 besar dunia, dan hanya tiga yang masuk 1.000 besar dunia, yaitu Universitas Gajah Mada menempati peringkat 591 dunia, Universitas Indonesia (663), dan Institut Teknologi Bandung (689). Posisi berikutnya di atas peringkat 1.800-an seperti Universitas Sumatera Utara (1.809) dan Universitas Gunadarma (1.840). Selengkapnya bisa dilihat di Peringkat Webometrics Perguruan Tinggi Di Indonesia.
Lantas bagaimana dengan Malaysia, ternyata berdasarkan parameter Scholar dalam Webometrics, terdapat delapan perguruan tinggi di Malaysia yang masuk dalam 1.000 besar dunia, dan ada lima perguruan tinggi yang masuk 500 besar dunia sehingga posisinya jauh lebih baik dibanding Universitas Gajah Mada. Kelima perguruan tinggi tersebut ialah Universiti Putra Malaysia menempati peringkat 239 dunia, Universiti Sains Malaysia (260), Universiti Teknologi Malaysia (333), Universiti Kebangsaan Malaysia (365) dan University of Malaya (432). Selengkapnya bisa dilihat di Peringkat Webometrics Perguruan Tinggi Di Malaysia.
Begitu masuk akal kegalauan yang dialami Dirjen Dikti, alasannya cukup obyektif, sehingga muncul kebijakan supaya lulusan S1, S2 dan S3 harus mempublikasikan karya ilmiahnya. Lulusan S1 (sarjana) di jurnal ilmiah (lokal yang belum terakreditasi, bisa yang ada di program studi, fakultas atau perguruan tinggi); lulusan S2 (magister) di jurnal nasional (terutama yang diakreditasi Dikti); dan lulusan S3 (doktor) di jurnal internasional.
Pertanyaan sekaligus kritik bagi Dikti, bukankah saat ini di Indonesia terdapat 270 ribu dosen, sekitar 24 ribu di antaranya bergelar doktor, tersebar di 3.017 perguruan tinggi. Bukankah kebijakan publikasi karya ilmiah lebih tepat ditujukan kepada para pengajar tersebut. Jumlah dosen, doktor, profesor dan perguruan tinggi di Indonesia jauh lebih banyak jika dibanding Malaysia. Sebagai gambaran, jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang diindeks Webometrics mencapai 352, sedangkan Malaysia hanya 75. Perlu dikaji secara serius kenapa produktivitas publikasi ilmiah dosen dan perguruan tinggi di Indonesia sangat rendah. Jangan-jangan bukan hanya sebagian besar mahasiswa saja yang belum pandai menulis. (Atep Afia).
kemungkinan karena pelatihan menulis yang disepelekan, lalu terlalu merujuk kepada skripsi.. sehingga mahasiswa hanya melulu mengembangkan diri di skripsi yg notabene hanya untuk kelulusan..
ReplyDeleteseharusnya semua Universitas tidak hanya mengajarkan para mahasiswanya, melainkan mendidik, sehingga kita mampu mengangkat nama bangsa kita Indonesia, dengan berbagai macam karya akademik yang di publikasi dan dilihan dunia, sehingga untuk tahun tahun kedepannya, Indonesia sudah disebut sebut sebagai Negara yang Maju Pendidikannya. Aamiin :)
ReplyDeletekarena kurangnya kesadaran mahasiswa pada pelatihan menulis, sehingga menganggap bahwa skripsi hanya untuk kelulusan bukan untuk penegmbangan diri.
ReplyDeleteArief Risaldi, @E11-Arief
ReplyDeletemenurut saya mungkin kesadaran dari para mahasiswa di indonesia yang menyepelekan karya tulis ilmiah ,sehingga membuat karya tulis ilmiah yang hanya untuk mencapai kelulusan bukan membuat dengan kualitas yang baik