Gambar : http://vetmed.illinois.edu |
Setiap
saat hampir semua orang cenderung “mencederai” atau “membuat luka”
ekosistem.Terjadi akselerasi kerusakan ekosistem yang begitu hebat. Memang ada
upaya untuk menghambat kerusakan yang kian parah, namun kebanyakan upaya masih
bersifat seremonial, masih cenderung lips-service.
Manusia
atau mahluk hidup apapun senantiasa membutuhkan lingkungan, baik fisik atau
biologis. Manusia sebagai aktor utama dalam ekosistem global, ternyata bersikap
kontra-produktif terhadap ekosistemnya. Hampir setiap orang berperan dalam
pengrusakan ekosistem. Cara berpikir, kebiasaan, sikap dan karakter sebagian
besar manusia belum bersahabat dengan ekosistem. Setiap saat hampir setiap
orang cenderung “mencederai” atau “membuat luka” ekosistem.
Terjadi
akselerasi kerusakan ekosistem yang begitu hebat. Memang ada upaya untuk
menghambat kerusakan yang kian parah, namun kebanyakan upaya masih bersifat
seremonial, masih cenderung lips-service.
Di sisi lainnya mereka yang memproklamirkan diri sebagai “pencinta lingkungan”
atau sekedar “pemerhati lingkungan”, jauh lebih sedikit dibanding “perusak
lingkungan” dan “penghancur lingkungan”. Ternyata cara berpikir sebagian orang
tentang ekosistem masih keliru, sebagai contoh ketika dihadapkan pada sampah
plastik dalam ukuran sekecil apapun, kebanyakan orang seolah tanpa beban
membuangnya ke tanah.
Secuil
plastik, bahkan seukuran bungkus permen, atau yang lebih kecil lagi, kalau
dibuang ke permukaan tanah tentu sangat mengganggu. Tanah adalah bagian dari
ekosistem, peranannya dalam mendukung kehidupan manusia begitu vital. Tanah
bukan sekedar tempat menanam bahan pangan, sandang atau papan, tanah juga
merupakan tempat menympan air.
Melalui
pori-pori tanah air hujan meresap tersimpan sebagai air tanah. Nah, dengan
tertutupnya permukaan tanah oleh bungkus permen, plastik lain atau bahan kedap
air lainnya, maka aliran air menjadi terhambat. Bayangkan kalau plastik itu
begitu banyak, termasuk kantong keresek, bekas peralatan rumah tangga, dan
sebagainya. Permukaan tanah itupun terus-menerus diselimuti aspal dan beton,
sehingga permukaan terbuka semakin berkurangluasnya.
Sebagai
dampak dari ketidakselarasan siklus air, maka terjadi banjir pada musim hujan
dan kekeringan yang berat pada musim kemarau. Saat musim hujan air yang datang
dilewatkan begitu saja, tidak ada upaya untuk ditabung di dalam tanah atau di
tempat-tempat penampungan tertentu seperti embung, waduk dan danau. Saat musim
kemarau, cadangan air di atas dan di permukaan tanah itu sudah tidak ada lagi,
sehingga berdampak terhadap penurunan produksi pertanian, penurunan kualitas
sanitasi, sehingga bencana kelaparan dan penyakit menularpun mewabah.
Dengan
berbagai semboyannya banyak kelompok masyarakat yang mencoba “menyelamatkan
bumi”. Padahal intinya bukan bumi yang harus diselamatkan, justru kehidupan
umat manusia itulah yang harus diselamatkan. Bagaimanapun bumi hanya sekedar ekosistem,
berfungsi sebagai habitat manusia dan
mahluk lainnya. Dengan demikian, manusialah yang berkepentingan terhadap bumi,
mungkin bumi sama sekali tidak berkepentingan dengan manusia. Bahkan kalau bumi
bisa berbicara, sepertinya bumi telah muak dengan perilaku manusia, yang sangat
membutuhkan bumi tetapi mensia-siakan, mencampakan bahkan merusaknya secara
perlahan-lahan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.